Powered By Blogger

Rabu, 04 Januari 2012

laporan baca buku mitos keunikan agama kristen

MITOS KEUNIKAN AGAMA KRISTEN
Buku “Mitos Keunikan Agama Kristen” merupakan kumpulan esai yang ditulis kaum Pluralisme yang terdiri dari teolog Katolik, Protestan, perempuan dan laki - laki dan teolog dunia barat dan timur. Buku ini merupakan hasil pemikiran tokoh - tokoh pluralisme, tentang “Iman Kristen mereka”, dalam hubungannya dengan dengan agama - agama lain. Mereka mulai merumuskan pemahaman baru dengan meninggalkan finalitas agama Kristen. Buku ini terdiri dari beberapa bagian yaitu : Prakata oleh Paul F. Knitter, kemudian bagian pertama : Jembatan historis - kulturan; relativitas, bagian kedua ; Jembatan Teologis - Mistis : misteri, bagian ketiga ; Jembatan Etis - Praktis : keadilan, serta bagian penutup oleh Tom F. Driver.
1. Prakata oleh Paul F. Knitter
Paul F. Knitter yang merupakan salah satu penyunting buku ini dalam prakatanya menandaskan bahwa para penulis telah memutuskan untuk “menyeberangi sungai Rubicon” untuk memegang prinsip pluralistik dalam memandang agama - agama lain . Knitter menjelaskan bahwa kebanyakan sejarah Kristen didominasi oleh dua pendekatan mendasar : “pendekatan eksklusivisme konservatif yang menemukan keselamatan di dalam Kristus dan yang hanya melihat sedikit, walaupun ada, nilai ditempat lainnya dan sikap ‘Inklusif’ Liberal yang mengakui kekayaan yang menyelamatkan dalam iman yang lain tetapi kemudian memandang kekayaan ini sebagai hasil karya yang telah dipenuhi dalam Kristus” (hal xi). Kemudian ia melanjutkan dalam mendefinisikan perubahan paradigma yang diusulkan, didukung oleh sebelas rekan penulisnya yang ia sebut sebagai posisi pluralis. Definisi tersebut adalah, “upaya melangkah meninggalkan penekan pada superioritas atau finalitas Kristus dan agama Kristen menuju pengakuan akan validitas mandiri dalam jalan- jalan lain. Hal itu kemudian digambarkan para peserta dalam proyek kami (tokoh pluralis) sebagai usaha menyebrangi jembatan teologis Rubicon (hal xi). Oleh sebab itu mereka membangun tiga jembatan penyeberangan untuk melampaui eksklusivisme dan inklusivisme, yang akhirnya semua jembatan itu disimpulkan oleh Tom Driver.
2. Jembatan Historis - Kultural : Relativitas
Tiga pemikir yang menyeberangi melalui jembatan ini adalah Gordon Kauffman, John Hick dan Langdon Gilkey. Hal yang disorot pada bagian ini adalah masalah relativitas. Keyakinan utama yang diketengahkan adalah bagaimana kaum Pluralis menyadari keterbatasan semua pengetahuan dan keyakinan religius, sehingga tidaklah mungkin kita menilai klaim kebenaran budaya atau keyakinan yang lain atas dasar keyakinan sekarang.
Gordon D. Kauffman dalam tulisannya menjelaskan bahwa dengan argumentasi bahwa ancaman awan jamur , memaksa semua agama untuk berdialog dan bekerjasama. Dimana lebih lanjut ia mengemukakan bahwa sebagai syarat yang perlu untuk dialog semacam itu, ia mengusulkan agar para pemeluk agama mengalami relativitas historis semua bentuk keagamaan dan dengan demikian menanggalkan klaim - klaim masa lalu tentang bentuk agama “satu - satunya” atau bentuk yang “tertinggi”. Argumentasi yang dikemukakan oleh Kaufman adalah masalah keutuhan persatuan manusia. Bahwa Injil Kristen tidak dapat menyediakan pusat persatuan dengan klaim- klaim yang ada padanya oleh sebab itu dengan “kesadaran sejarah modern” meminta supaya orang Kristen untuk melepaskan klaim atas keunikan Kristus, dan mengakui bahwa pandangan Alkitab tentang peristiwa - peristiwa, seperti semua pandangan manusia, adalah ditentukan oleh kebudayaan.
Bagian selanjutnya dalam tulisan John Hick memberikan argumen yang lebih jauh tentang relativitas historis. Ia menyatakan bahwa bila suatu agama ingin mengklaim dirinya yang paling tinggi, ia harus melakukannya berdasarkan “pengujian terhadap fakta - faktanya” - yakni suatu bentuk data empiris atau berdasarkan penglaman yang terbuka bagi semua pihak. Data semacam itu mestinya harus ditemukan dalam agama yang memiliki kemampuan lebih baik, dibandingkan dengan agama- agama lain, yang menyangkut kesejahteraan umat manusia. Hick menyimpulkan: Tampaknya kita tidak mungkin membuat penilaian global bahwa suatu tradisi keagamaan yang satu lebih banyak menyumbangkan kebaikan atau lebih sedikit keseluruhan dari pada yang lain, atau bahwa satu tradisi memberikan keseimbangan yang lebih baik antara kebaikan dan kejahatan daripada tradisi lain. Sebagai totalis yang amat besar dan kompleks, tradisi - tradisi dunia tampaknya lebih kurang setara satu sama lain. Tak satupun dapat diselamatkan secara khusus sebagai yang sungguh - sungguh lebih unggul.
Penulis lain dalam jembatan relativitas ini, Longdon Gilkey memberi kesan lebih banyak tentang masalah relativitas. Dalam tulisannya tentang relativitas ini, kita sama sekali tidak mempunyai dasar untuk berbicara tentang keselamatan. Gilkey  menawarkan dukungan yang lebih hati - hati dan dialektis terhadap kesadaran historis. Menurutnya Pluralisme mempunyai sisi bayangannya gerakan – gerakan demonis yang beroperasi dibawah nama - nama agama atau agama semu nasionalisme (dalam hal ini Gilkey lebih melihat ke masalah relativitas total daripada relativitas historis ). Kita harus menentang ini semua, tetapi supaya dapat melakukan yang demikian kita harus mempunyai suatu tempat untuk berdiri. Karena itu berarti kita harus mempunyai komitmen kepada suatu kepercayaan tidak hanya tentang apa yang secara pribadi kita impikan (“nilai - nilai” kita) tetapi tentang apa permasalahan itu sebenarnya. Melawan Hitler, hanya komitmen mutlak dari penanda-tangan pengakuan Barmen yang dapat menyusun pahlawan yang riil. Disana harus ada komitmen mutlak kalau kita akan bertindak secara efektif melawan kekuasaan - kekuasaan demonis. Dengan demikian tulis Gilkey, “secara parakdosal, kemajemukan tepatnya oleh arti keduanya sendiri, mengimplikasikan baik relativitas maupun kemutlakan, suatu kesejajaran atau sintesis dari yang relatif dan yang mutlak yang secara intelektual mengecewakan, dan sementara itu secara praktis adalah perlu. Gilkey menyelesaikan dilema ini dengan mengorbankan diri pada apa yang disebutnya tradisi pragmatisme Amerika yang perlu dihargai. Ia balik kembali kepada John Dewey dan William James: “Kita harus bertindak atau, kalau tidak, menyesuaikan diri. Untuk tujuan itu kita membutuhkan sesuatu yang mutlak, tetapi kita harus melihat bahwa pendirian kita hanyalah relatif, sebaliknya kemutlakan kita akan menjadi sumber yang lain dari demonstrasi dan penindasan”.
3. Jembatan Teologis - Mistis : Misteri
Jembatan yang kedua ini ingin berbicara mengenai persoalan misteri - keyakinan yang dipegang oleh para penulisnya adalah persepsi yang religius yang secara historis relatif itu memusatkan perhatian isi dari pengalaman religius yang otentik, yaitu pada yang tak terbatas. Misteri melampaui segala bentuk keagamaan.
Bagian yang pertama ditulis oleh W. C. Smith, menggunakan pemahaman tentang penyembahan berhala yang telah lama dipegang dalam tradisi agama untuk mengungkapkan alasan mengapa kekristenan membutuhkan sikap baru terhadap kepercayaan - kepercayaan lain. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa penyembahan berhala tidak menggambarkan agama - agama lain, tetapi juga agama Kristen telah menjadi berhala bagi para pemeluknya. Orang Kristen telah menyerah pada pencobaan untuk menyamakan agama mereka dengan Allah, dengan memutlakkannya dan membuatnya final. Padahal menurutnya bahwa semua agama mempunyai suatu pengalaman akan Allah yang transeden sebagai intinya; bahwa apakah kita berbicara tentang patung - patung yang dibuat dari kayu atau batu atau khayalan yang dilihat dalam pikiran, atau bahkan citra manusia seperti Yesus, semuanya secara sama merupakan sarana - sarana yang dipakai oleh yang transeden untuk membuat dirinya hadir bagi kita manusia.
Untuk mengklaim keunikan bagi satu bentuk khusus tentang kontak yang transeden ini adalah tidak masuk akal, tetapi juga merupakan penghujatan. Lebih gampang menerima kebenaran - kebenaran yang secara indah dinyatakan dalam Bhagavad Gita dan teologi Ramanuja, bahwa Allah adalah sedemikan pemurah sehingga ia menerima setiap orang yang menyembah apapun bentuknya, yang melaluinya persembahan atau ibadah itu disampaikan. Oleh sebab itu menurut Smith, klaim apa saja untuk keunikan yang dibuat untuk satu konsep tentang yang transeden, contohnya klaim orang Kristen bahwa yang transeden hadir dalam kepenuhannya dalam Yesus harus dianggap sama sekali tidak diterima. Betapa absurdnya, kata Cantwell Smith, untuk percaya dalam Yesus, Allah secara pribadi hadir. Ia hadir dimana - mana seperti musik Bach dalam ekaristi.
Raimundo Panikkar dan Stanley Samartha mengambil sikap berdasarkan pengalaman Hindu mereka untuk meletakkan dasar mistik terhadap isyarat Smith mengenai pemberhalaan. Bagi mereka misteri tertinggi itu tidak digambarkan serta riil; semua agama dapat ikut serta dalam misteri ini serta mencerminkannya; tak satupun yang dapat memilikinya. Samartha mengusulkan kristologi teosentris India dan dengan demikian, memperlihatkan bahwa orang Kristen pun bahkan dapat membuat berhala berdasarkan Yesus Kristus. “Dalam bergerak meninggalkan eksklusifitas dan inklusifitas, orang Kristen harus tiba pada pemahaman yang lebih jelas mengenai keunikan Yesus. Ciri khas Yesus tidak terletak dalam klaim bahwa ‘Yesus Kristus adalah Allah‘. Hal ini sama saja dengan menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah dewa suku orang Kristen yang dipertentangkan dengan dewa - dewa orang lain. Mengangkat Yesus ke dalam status Allah atau membatasi Kristus kepada Yesus dari Nazaret adalah pencobaan -pencobaan yang harus dihindari. Yang pertama mengandung resiko ‘Yesusologi’ yang dimiskinkan dan yang belakangan menjadi ‘Kristosomonisme’ yang sempit.
Kristologis teosentris menghindari bahaya - bahaya ini dan menjadi lebih menolong dalam membangun hubungan – hubungan baru dengan sesama kita yang beriman lain”, kata Samartha. Lebih lanjut ia mengemukakan, “Teosentrisme memungkinkan pencarian yang terus berkembang terhadap makna Yesus Kristus yang di dalamnya kepercayaan - kepercayaan lain juga dapat ikut serta, sebagaimana yang sesungguhnya telah mereka lakukan, dengan demikian membukakan bagi orang Kristen beragam kemungkinan yang tak termimpikan untuk memperkaya yang lain dan diperkaya oleh mereka.
Bagian ketiga jembatan kedua ini, Panikkar khususnya menekankan keterbatasan penalaran dan dengan demikian ia berada dalam ketegangan tertentu dengan beberapa usul lainnya. Baginya, yang tertinggi bukan hanya niscaya tak tergambarkan melainkan juga secara radikal pluralistik. Demikian pula halnya dengan seluruh realitas. Panikkar memberi kesan bahwa rekan - rekannya yang mendukung pluralisme baru dan terjun menyeberangi Rubicon tidak benar - benar mengetahui apa artinya ini. Pluralisme menyatakan kepada kita bahwa tidak ada “satu” yang dapat dipaksakan terhadap yang “banyak”. Yang banyak itu akan selalu ada ; perbedaaan dan ketidak sepakatan akan selalu ada. Panikkar memperingatkan; Pluralisme tidak memungkinkan suatu sistem universal. Suatu system Pluralisme akan merupakan kontradiksi dalam istilahnya. Pada kenyataannya, sistem - sistem yang tertinggi itu tidak dapt diukur atau dibandingkan bersama - sama satu dengan yang lainnya. Ketidaksesuaian ini bukan kejahatan kecil, melainkan pernyataan tentang realita itu sendiri.
Bagian yang terakhir ditutup oleh Saici Yagi dengan menawarkan sebuah esai yang dalam pengertian tertentu unik di antara berbagai sumbangan dalam buku ini. Ia menggunakan sebuah contoh konkrit tentang Kristen - Buddhis untuk meletakkan dasar - dasar bagi teologi Pluralis tentang agama - agama. Berdasarkan perspektif Buddhis, namun juga memanfaatkan keilmuan Perjanjian Baru, ia juga mengajukan penafsiran kembali terhadap “aku” Yesus, yang memungkinkan orang Kristen bergerak melampaui pemahaman yang eksklusifitas maupun inklusifitas mengenai keunikan Kristus. Kristologi yang demikian itu menurutnya melestarikan keunikan Yesus maupun Buddha.
4. Jembatan Etis - Praktis : Keadilan
Pada jembatan ketiga ini, menyoroti bahwa persoalan Pluralisme bukan sekedar masalah yang menyangkut kesadaran akan relativisme historis ataupun misteri yang absolut, namun juga berhadapan langsung dengan penderitaan umat manusia dan dibutuhkannya sebuah teologi pembebasan agama - agama.
Bagian pertama Rosemary Ruether dan Marjorie Suchocki menjelaskan bagaimana pemahaman- pemahaman tradisional tentang agama Kristen sebagai pengemban penyataan satu - satunya atau penyataan tertinggi telah menuntut chauvinisme keagamaan yang membangkitkan kemarahan dan ab- surd. Sungguh mengejutkan bahwa kaum Liberal dan radikal Kristen gagal untuk sungguh – sungguh mempertanyakan asumsi ini. Menjunjung agama Kristen atau Kristus sebagai norma bagi semua agama sama eksploitatifnya dengan usaha sekisme untuk menjadikan pengalaman laki - laki sebagai norma universal bagi seluruh manusia. Pada bagian yang ketiga Aloysius Pieris menjelajahi implikasi - implikasi pendekatan Liberal itu terhadap Kristologi. Setelah menelusuri persamaan -persamaan dan konflik - konflik yang timbul yang dari klaim klaim yang mutlak yang telah dibuat baik dalam Kristologi maupun Buddhalogi ia mengusulkan bahwa bila orang - orang Buddha dan Kristen bertemu pada jalan pembebasan tunggal, Buddha dan Kristus dapat saling melengkapi, bukan saling bersaing.
Kemudian jembatan yang ketiga ini ditutup oleh Paul F. Knitter dengan menambahkan beberapa alasan bagi sikap baru terhadap kepercayaan - kepercayaan yang lain - bukan hanya untuk mencegah ketidakadilan, melainkan untuk mempromosikan keadilan - keadilan. Knitter menyatakan bahwa pembebasan ekonomi, politik dan khususnya bencana nuklir adalah tugas yang terlalu besar bagi suatu bangsa, budaya, atau agama mana pun suatu gerakan pembebasan sedunia membutuhkan dialog antar agama sedunia. Oleh sebab itu, ia berkata: Misi utama Gereja bukanlah melakukan “Bisnis Keselamatan” (Mengkristenkan orang - orang sehingga mereka dapat diselamatkan ), tetapi bertugas untuk melayani dan mengembangkan kerajaan keadilan dan cinta kasih, dengan menjadi tanda dan hamba, dimana pun kerajaan itu mewujud. Dengan maksud mengembangkan kerajaan itu, orang - orang Kristen harus menyaksikan Kristus. Semua bangsa, semua agama harus mengenalnya supaya memahami sepenuhnya isi dari kehadiran Allah di dalam sejarah. Keperluan ini adalah bagian dari tujuan dan motifasi pergi keujung dunia. Tetapi didalam ajaran baru tentang Gereja (Ekklesiologi baru) dan di dalam model baru kebenaran, orang juga mengakui bahwa semua orang harus mengenal Budha, Muhammad, Krisna (bukankah “orang menegaskan”lebih sesuai dari apa yang dimaksudkan daripada”orang mengakui “?). Inipun adalah bagian dari tujuan dan semangat bagi pekerjaan misi: ini harus disaksikan, supaya orang - orang Kristen dapat memperdalam dan memperluas pemahaman mereka sendiri tentang kehadiran dan tujuan Allah dalam dunia ini. Melalui kesaksian dan pertumbuhan timbal balik ini, maka kiprah mewujudkan Kerajaan Allah berjalan terus.
5. Penutup oleh Tom F. Driver
Dalam catatan penutup Tom F. Driver menyampaikan beberapa peringatan terakhir dan memberikan beberapa pedoman yang dibutuhkan untuk penjajakan - penjajakan teologis Pluralis tentang agama - agama. Ada bahaya kenaifan dalam perjuangan demi pluralisme dengan adanya keputusan dan ketidaksinambungan antara tradisi - tradisi agama tidaklah mungkin dan sungguh imperialistis bila orang Kristen menempatkan agama - agama dibawah kategori - kategori universal. Ia menuliskan; Allah mempunyai “hakikat - hakikat” yang berbeda - beda. Dalam perspektif Pluralis, bukan hanya bahwa Allah mempunyai satu hakikat yang secara beraneka ragam dan secara tidak mencukupi dinyatakan oleh tradisi - tradisi keagamaan yang berbeda - beda. Itu berarti bahwa ada perbedaan - perbedaan yang riil dan asli di dalam keillahian itu sendiri, bergantung pada macam- macam keterlibatan yang sudah dilakukan Allah dengan masyarakat - masyarakat manusia yang sangat bermacam - macam.













Kesimpulan dan Tanggapan
Kata “mitos” sangat bermanfaat bagi teolog-teolog Pluralis karena kekaburan artinya. Dalam penggunaannya yang populer, kata ini sering hanya merupakan kata lain untuk kebohongan. Kalau dia dipakai dalam judul buku “Mitos Keunikan Agama Kristen” adalah agar para penulisnya mempunyai perisai yang aman untuk melindungi mereka dari tuduhan bahwa mereka hanya menyangkal kebenaran dari kepercayaan yang eksklusif ini, dan akan mengklaim bahwa mereka mempergunakan kata itu dalam pengertian teknis. Namun apapun alasannya, kata “mitos” sudah mengandung arti yang sangat negatif bagi kekristenan. Sebab hal itu sama saja menyamakan Kristus atau kekristenan dengan dongeng-dongeng. Apalagi pemaparan yang ada dalam buku ini jelas-jelas mengecam finalitas agama Kristen diantara agama- agama lain. Para penulisnya kemudian mengembangkan suatu pemahaman baru dengan jembatan- jembatan mereka untuk merumuskan pemikiran yang baru dan meninggalkan klaim-klaim kebenaran Alkitab. Kaum pluralis sudah bergerak dengan cepat serta pengaruh yang dikembangkan semakin luas dengan penggembosan Alkitab melalui literatur-literatur mereka.
Kaum Pluralis menilai bahwa teologi Kristen selama ini adalah keliru atau paling tidak sangat sempit. Oleh sebab itu mereka berusaha untuk merekontruksi ulang teologi Kristen, yang menurut mereka selama ini Injil-injil dan teologi Kristen tidak dirumuskan dalam konteks keberagaman agama, sehingga tidak relevan untuk kebutuhan gereja dalam bersosialisasi ditengah-tengah umat manusia yang beragam kepercayaan. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa teologi kristen selama ini sangat arogan dan sempit, serta sarat dengan muatan eksklusivisme. Karena itu, mereka sangat bersemangat merumuskan teologi Kristen dalam pemahaman yang baru mengenai iman dan kemajemukan iman. Dalam upaya menafsir ulang teologi Kristen maka hal pertama yang mereka lakukan adalah menolak dan membuang doktrin-doktrin utama yang fundamental demi tujuan mencapai persatuan dan kesatuan agama-agama.
A. Bahaya Utama Pluralisme Modern
Apabila kita melihat pandangan-pandangan Pluralisme modern, tampaknya alasan yang dikemukakan kelihatan sangat baik, terutama dalam pengajaran moral dan kesetaraan hak asasi manusia. Namun justru dengan begitu mereka secara langsung menghancurkan kebenaran Allah, gagal dalam memahami kasih Allah yang sesungguhnya. Relativisme yang didengungkan menyebabkan tidak ada yang absolut dan mutlak, bahkan kebenaran dari satu Allah yang absolut. Bahaya utama dari pandangan mereka adalah masalah Alkitab, finalitas Kristus, dan soteriologi serta pemahaman tentang gereja secara benar.
1. Menolak Alkitab Sebagai Wahyu Allah Yang Final
Kaum Pluralis sangat tidak percaya terhadap Alkitab. Mereka berasumsi bahwa Allah menyatakan dirinya tidak hanya dalam konteks historis yaitu kepada satu umat manusia tertentu saja, melainkan kepada semua orang. Mereka menolak klaim-klaim dan pernyataan-pernyataan di dalam Alkitab, hal itu didasarkan oleh pandangan mereka tentang injil yang ditulis. Dengan metode historis kritis mereka meragukan keabsahan Alkitab sebab teks-teks mengemukakan keabsolutan ajaran dan iman Kristen, bukanlah historis, bukanlah sesungguhnya kebenaran Allah melainkan mitos-mitos demi penulis Alkitab. Dengan kata lain, mereka menolak sebagai kebenaran final Allah yang tertulis. Itu berarti mereka menolak pegangan utama orang Kristen yaitu Alkitab.
2. Menolak Finalitas Yesus
Kegagalan memahami Alkitab akan membuat seseorang gagal dalam memahami kristologi yang benar. Penolakan terhadap Allah kita berarti penolakan terhadap finalitas Yesus Kristus. Menurut kaum Pluralis bahwa Injil harus ditafsir ulang karena pengajaran tentang Yesus di dalamnya adalah keliru, dan Yesus yang dipahami orang Kristen selama ini merupakan kesalahan besar. Sebab keAllahan Yesus di dalam Alkitab adalah rekaan dari para penulis Injil dan hasil pemikiran penulis. Dengan kata lain keAllahan Yesus yang diyakini dan diklaim orang Kristen saat ini bukanlah Yesus yang sebenarnya, bukanlah Yesus historis, melainkan Yesus yang hanya  ada dalam angan-angan atau mitos para penulis Injil.
3. Menolak Finalitas Keselamatan di Dalam Pengajaran Alkitab.
Penolakan terhadap Alkitab berarti penolakan terhadap finalitas Kristus dan penolakan terhadap keselamatan yang ada di dalamnya. Klaim-klaim yang dikemukakan oleh orang Kristen adalah sangat eksklusif. Bahkan cenderung menjadi suatu pemberhalaan. Kaum Pluralis beranggapan bahwa adalah terlalu sempit menganggap agama Kristen satu-satunya agama yang benar, karena dengan demikian mereka mengabaikan universalitas kasih Allah, kemajemukan agama dan hak asasi manusia. Mereka menyatakan sebagaimana halnya keselamatan ada di agama Kristen , maka begitu juga dengan agama lain, bahwa tiap-tiap agama ada di dalamnya.
4. Menolak Gereja Sebagai Misi Allah di Dunia.
Pandangan yang salah tentang ketiga doktrin utama di atas berimplikasi terhadap konsep ekklesiologi, apabila keselamatan Yesus tidak dipercaya lagi sebagai yang bersifat final maka secara otomatis mereka menolak sebagai gereja atau orang Kristensebagai komunitas umat Allah. Penolakan gereja sebagai umat Allah akan berlanjut terhadap gereja sebagai misi agen tunggal Allah di dunia. Misi Allah sangatlah luas sehingga gereja tidak bisa mengklaim bahwa Allah hanya bekerja melalui gereja, sebab keselamatan juga ada di agama lain.
B. hal-hal yang harus menjadi pegangan orang Kristen
Dalam menghadapi gerakan Pluralisme maka ada beberapa hal yang harus dipegang oleh orang Kristen terutama berhubungan dengan masalah pengajaran. Hal utama yang harus dilakukan oleh umat Kristen dalam memenggal gerakan Pluralisme adalah dengan menggali dan mengetahui kebenaran kekristenan itu dengan sebaik-baiknya. Pengetahuan yang benar terhadap kebenaran adalah modal dasar yang kuat untuk menghadapi kesesatan. Pengetahuan utama tentang kebenaran itu sendiri meliputi beberapa tema utama kekristenan:
1. Pentingnya Mengetahui Otoritas Alkitab Yang Mutlak
Alkitab merupakan dasar dari seluruh doktrin kekristenan, juga merupakan standar hidup orang Kristen. Bila otoritas Alkitab diragukan maka mustahil seseorang bisa percaya kepada Allah Sang Pencipta dan pemelihara alam semesta. Menganggap Alkitab sebagai mitos merupakan sebuah kekonyolan, sebab kebenarannya ditulis langsung oleh orang pertama dan diakui orang-orang yang sekontemporer dengannya sehubungan dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya. Kemudian Alkitab itu sendiri merupakan inspirasi Allah secara Verbal Plenary yang absolut Innerancy dan Infalibility, yang kebenarannya tidak dapat diragukan sedikitpun bahkan terhadap hal-hal sekuler lainnya yang terjadi di dalam dunia ini.


2. Keselamatan Adalah Hal Yang Paling Utama
Keselamatan adalah pusat dari segala-galanya. Seseorang akan hidup sia-sia tanpa dirinya sendiri sudah diselamatkan. Keselamatan akan dimiliki dengan baik, apabila mengetahui dan menerima kebenaran itu dengan baik. Tanpa mengetahui arti keselamatan yang benar seseorang tidak akan mungkin diselamatkan. Keselamatan hanya ada didalam Kristus (Yoh.14:6, Kis.4:12). Kristuslah pusat keselamatan, dan pengorbanan Kristus untuk menanggung dosa manusia merupakan inti Injil. Patut disayangkan apabila ada pernyataan bahwa di luar Kristus ada keselamatan, tentu saja ini harus di tentang dengan keras, karena merupakan sebuah penyesatan yang luar biasa.
3. Menjaga jarak
Kebenaran yang disampaikan oleh kaum Pluralis sangat membahayakan posisi orang Kristen. Oleh sebab itu Alkitab dengan sangat jelas menasehatkan orang percaya untuk tidak bergaul dengan kesesatan seperti itu. Kekudusan orang percaya dapat dicapai bila ada pemisahan dari yang tidak kudus. Selama seseorang kompromi dengan sesuatu yang tidak kudus ia tidak akan dapat mempertahankan kekudusannya. Oleh sebab itu orang percaya harus mempertahankan kekudusan karakternya ( Roma 16:7, Titus 3:9-11, Mzm. 1:1, II Tes. 3:6,12, Yudas 23, Mzm. 119:63). Gerakan Pluralisme timbul akibat kompromi-kompromi yang sudah sangat jauh dan sangat disayangkan. Kaum Fundamentalis harus waspada dan dengan serius mengadakan pencegahan terhadap gerakan Pluralisme, bahkan harus ada sebuah perlawanan, dan juga kaum Fundamentalis harus dengan serius juga mengadakan pemisahan dengan Pluralisme.
Bagaimanapun juga kebenaran yang disampaikan Alkitab adalah kebenaran yang sejati, dan itulah keunikannya. Kebenaran itu sudah teruji selama ribuan tahun, juga teruji oleh rasio manusia yang sederhana sekalipun. Kebenaran itu juga merupakan pusat dari keselamatan seluruh dunia, dimana gereja bertugas untuk memeliharanya secara terus menerus sampai kedatangan Kristus Yesus. Ketidakpercayaanlah yang membuat kaum Pluralis mengingkarinya. Penggalian yang benar, penelitian yang seksama dan jujur, serta sikap hati yang benar akan membuat seseorang bisa memahami seluruh keunikan dan finalitas keselamatan di dalam Kristus itu. Kristus adalah pusat dari keselamatan, soteriologi adalah pusat dari semua doktrin, Alkitab adalah dasar dari semua doktrin dan gereja adalah pintu semua doktrin. Kebenaran ini adalah kebenaran yang final yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar