Powered By Blogger

Rabu, 04 Januari 2012

laporan baca ekumenika "keesaan gereja", pusing aq bacanya....ha ha ha

Bab 1 no 3.
Pada zaman reformasi gereja katolik Roma diperhadapkan dengan ancaman perpecahan secara besar-besaran. Maka diusahakanlah suatu perdamaian dengan kaum injili yang adalah pengikut Luther, demi kesatuan kaum Kristen terhadap  Turki. Namun persetujuan tidak dicapai.
Di kalangan kaum injili sendiri juga terjadi perbedaan-perbedaan yang sulit untuk disatukan. Meskipun satu dalam kritik terhadap Roma, namun soal Perjamuan Kudus akhirnya memisahkan para pengikut Luther dengan kaum injili di Jerman selatan dan Swiss.
Walaupun kaum injili memisahkan diri dari Roma, namun tetap ada kesadaran, baik dikalangan Protestan maupun dikalangan Katolik Roma, bahwa satu warisan menjadi milik bersama, yaitu warisan gereja kuno. Timbul kesadaran bahwa usaha-usaha untuk memulihkan perpecahan yang diakibatkan reformasi harus bertolak dari warisan bersama. Kesadaran ini hidup khususnya di kalangan kaum humanis, cendikiawan katolik maupun Protestan yang mengecam keadaan gereja Katolik Roma pada zaman itu karena telah menyimpang dari ajaran dan praktik gereja kuno. Namun usaha perdamaian mereka agak bersifat intelektual dan individual, dan kurang berakar dalam gereja.
Pada abad ke-17 dan ke-18, usaha-usaha dari abad reformasi dilanjutkan:
1.      Mencari titik persatuan dalam warisan gereja kuno.
2.      Merumuskan semacam daftar pasal-pasal iman yang dianggap azasi untuk iman Kristen, yang harus diterima secara mutlak, sedangkan pasal-pasal iman yang dianggap tidak azasi tidak boleh menjadi alas an untuk perpecahan antara orang-orang Kristen.
Kekurangan usaha-usaha di atas adalah bahwa yang pertama  dianggap terlalu intelektualitas untuk diterima secara umum di gereja-gereja. Sedangkan yang kedua waktunya belum matang. Gereja-gereja masih terlalu mengindahkan rumusan-rumusan konvesional masing-masing.
Setelah rumusan-rumusan konfesional kehilangan peranan yang menentukan. Pada zaman pencerahan dan pietisme munculah pendapat yang mengatakan bahwa iman Kristen bertolak dari hati pribadi. Kesalehan pribadi, penghayatan iman secara individual adalah yang terutama, dan semua hal lain, seperti keanggotaan gereja atau penerimaan suatu konfeksi adalah hal kedua. Dengan penekanan pada individu maka konfeksi gereja direlativer. Gereja berusaha mencari hubungan dengan gereja-gereja lain. Pietisme, yang muncul di gereja Lutheran Jerman, sejak awal bersifat terbuka terhadap usaha-usaha yang sedemikian di kalangan Calvinis, bahkan Katolik Roma.
Sikap terbuka di kalangan pietis kemudian sangat mempengaruhi perhimpunan-perhimpunan pekabaran injil. Perhimpunan-perhimpunan ini juga mengutamakan iman sederhana kepada Yesus Kristus.
Pada abad ke-19 timbulah usaha lain sbb:
1.      Usaha mempersatukan orang-orang Kristen dari gereja-gereja yang mempunyai dasar teologis atau konfesional yang sama.
2.      Usaha untuk mempersatukan orang-orang Kristen Protestan dalam satu perhimpunan yang diprakarsai oleh Thomas Chalmers (1780-1847), yang kemudian hasilnya ialah pembentukan Evangelical Alliance di London, tahun 1846. Namun ini juga tidak pernah berhasil untuk menupulkan orang-orang Kristen yang dapat dianggap wakil gereja mereka dan tetap bersifat perhimpunan yang pribadi.
3.      Voluntary movement yang lahir karena pengaruh Revivalism, gerakan kebangunan rohani di Amerika Serikat. Misalnya: YMCA (Persatuan para pemuda Kristen 1844), YWCA (persatuan para pemudi Kristen 1854), SCM (gerakan mahasiswa kristen). Yang memiliki pandangan bahwa bukan konfeksi gereja yang penting, tetapi iman murni kepada sang juruselamat. Tugas bersama orang Kristen adalah menginjili.
4.      Usaha untuk bekerja sama di bidang pekabaran injil. Dimulai dengan penerjemahan Alkitab. Lembaga Alkitab yang pertama untuk penyebaran Alkitab di lapangan pekabaran injil adalah British and Foreign bible Society, tahun 1804. Juga diadakannya konferensi-konferensi yang menghasilkan pemahaman bahwa dalam pekabaran injil perlu suatu pembagian lapangan pekabaran injil untuk menghindari apa yang disebut “pekabaran injil rangkap”.
Sejak 1854 diadakan konperensi-konperensi pekabaran injil untuk dunia anglo-Amerika, tahun 1866 untuk daratan eropa, tahun 1860 di Liverpool dan 1885 di London diadakan konperensi pekabaran injil international. Tahun 1900 di New York diadakan ecumenical conference on foreign missions, yang diselenggarakan oleh Evangelical Alliance.
Usaha ini bermuara pada konperensi pekabaran injil sedunia di Edinburgh (14-23 juni 1910), yang dipelopori oleh John Raleigh Mott (1865-1955). Konperensi ini untuk membahas sejumlah persoalan yang timbul di lapangan pekabaran injil. Pokok-pokok yang di bahas: 1.Pekabaran injil di seluruh dunia. 2.Gereja di lapangan pekabaran injil. 3.Pendidikan dan pengkristenan. 4.Berita Kristen dan agama-agama bukan Kristen. 5.Persiapan para pekabar injil. 6.Hubungan dengan pangkal di dalam negeri. 7.Hubungan dengan pemerintah. 8.Kerjasama dan keesaan
Keputusan ini di kemudian hari ternyata berarti langkah awal di sejarah oikumene, sehingga konperensi pekabaran injil sedunia di Edinburgh 1910 dilihat sebagai saat kelahiran gerakan oikumenis.
Bab 2 no 2.
1.      Konperensi di Yerusalem (23 Maret-8 April 1928) yang membicarakan hubungan antara gereja-gereja muda dan tua, hubungan dengan agama-agama lain, sekularisasi serta comprehensive approach to the Jews.
comprehensive approach bertolak dari pendapat bahwa injil menyangkut seluruh manusia, yaitu jiwanya, hubungannya dengan sesame manusia dan dunia sekitarnya. Oleh sebab itu pekabaran injil tidak boleh membatasi diri pada pemberitaan orang-perorangan. Pekabaran injil juga termasuk pekerjaan social, medis, pendidikan, singkatnya kegiatan-kegiatan yang mencakup segala bidang kehidupan. Pekabaran injil adalah pemberitaan kabar syalom yang menyangkut manusia seutuhnya.
2.      Tambaran 12-29 desember 1938, yang memainkan peran penting dalam konperensi ini adalah buku Dr. H. Kraemer, the Christian message in a non-christian world untuk melawan buku Rethinking missions (1932) yang membicarakan tentang adanya pengaruh barth dan demikian pengaruh ini masuk dunia pekabaran injil international, menolak kolonialisme, memberi perhatian kpd kemandirian gereja-gereja muda, pendidikan untuk pendeta-pendeta pribumi dan pendidikan teologia yang baik, kerjasama dan keesaan.
3.      Whitby (kanada) 5-24 juni 1947. Temanya adalah: The Christian witness in a revolutionary world (kesaksian Kristen dalam dunia yang revolusioner). Gereja-gereja tua dan muda mulai saling mengakui sebagai “partners in obedience” (mitra dalam ketaatan), yang sama-sama diperhadapkan dengan tugas mengabarkan injil di seluruh dunia. Istilah “partners in obedience” menunjukan bahwa tidak ada perbedaan antara gereja tua dan muda karena keduanya adalah bagian gereja oikumenis, gereja sedunia, yang memiliki tugas yang sama. Keduanya haruslah saling membantu dalam melaksanakan tugas ini. Ini menunjukan bahwa dunia tidak lagi di bagikan dalam lapangan pekabaran injil.
4.      Willingen (jerman) 5-12 juli 1952, dengan tema “the missionary obligation of the church” (kewajiban gereja untuk mengabarkan injil).
5.      Achimota (Ghana, Africa), 28 desember 1957- 8 januari 1958. Yang bertema “the Christian mission in this hour” (misi Kristen pada saat ini). Diputuskan untuk mengintegrasikan IMC dengan DGD.
Bab 3 no 2.
Tujuan Faith and Order, yang dirumuskan oleh Brent, adalah mencari jalan menuju keesaan gereja. Untuk mencapai tujuan ini Brent mengusulkan untuk mengadakan suatu konperensi yang mempercakapkan soal-soal iman dan tata gereja  dan melihat bagaimana halangan-halangan untuk keesaan gereja dapat diatasi.
Perkembangan yang terjadi di kalangan gereja-gereja yang bercorak anglikan. Rumusan dasar keesaan di anglikan communion yang dikenal dengan nama Lambeth Quadrilateral mencantumkan 4 hal yang menggabungkan gereja-gereja anglikan yaitu: 1. Alkitab sebagai ukuran iman. 2. pengakuan iman rasuli dan pengakuan iman nicea-constantinopel. 3. Kedua sakramen, baptisan dan perjamuan kudus. 4. Jabatan uskup yang historis. Penekanan pada keesaan gereja yang kelihatan dan terwujud secara organisatoris merupakan sumbangan Anglican communion kepada gerakan Faith and Order.
Bab 4 no 1
Prasejarah Life and Work terdapat dalam aksi Kristen di bidang social pada abad ke-19. Banyak organisasi Kristen melibatkan diri dalam aksi social. Maka timbulah kesadaran bahwa dalam menghadapi hal-hal social orang-orang Kristen harus bekerjasama. Oleh sebab itu banyak organisasi merupakan hasil kerjasama antara orang-orang Kristen dari gereja-gereja yang berbeda.

Bab 5 no 5
Karena dirasa perlu untuk  mendirikan suatu persekutuan gereja-gereja sebagai “jiwa” untuk kerjasama antara bangsa-bangsa. Maka sejak 1928, orang mulai mencari jalan untuk mewujudkan kerjasama yang lebih akrab. Sejak 1933 organisasi-organisasi oikumenis seperti Faith and Order dan Life and Work, bersama dengan IMC, World Alliance, WSCF, dan YMCA sedunia mulai membicarakan kemungkinan untuk mendirikan suatu organisasi oikumenis yang mencakup semua bidang pelayanan gereja.
Factor-faktor yang mendukung perkembangan ini adalah resesi ekonomi dan keadaan politik internasional. Gereja mengalami kesulitan keuangan dan munculnya Negara-negara totaliter. Dalam dunia yang sedang dilanda oleh bahaya nasionalisme gereja-gereja harus memperlihatkan diri sebagai Una Sancta, suatu persekutuan dalam Tuhan yang melampaui batas Negara-negara.
Pada rapat di London, 8-10 juli 1937, disepakati bahwa telah tiba waktu untuk mendirikan suatu World Council of Churches (WCC), yang mewakili gereja-gereja dan memperhatikan soal Life and Work dan Faith and Order.
Tema yang dibahas adalah “Mans Disorder and Gods Design” (kekacauan manusia dan rencana Allah), suatu tema yang mencerminkan keadaan pembangunan kembali sesudah perang.
Sidang raya DGD yang pertama di adakan di Amsterdam, 22-32 agustus 1948. Dan pada tanggal 23 agustus 1948 WCC didirikan secara resmi. Tema sidang raya dibahas dalam 4 seksi yang mewakili ke 4 aliran gerakan oikumenis yang member sumbangan kepada DGD: 1. Gereja universal dalam rencana Allah (Faith and Order), 2. Kesaksian gereja tentang rencana Allah (IMC), 3. Gereja dan kekacauan masyarakat (Life and Work), 4. Gereja dan kekacauan internasional (World Alliance). Suasana tegang juga mempengaruhi sidang raya, waktu menteri luar negeri Amerika menolak komunisme berdasarkan iman Kristen, sedangkan dari pihak Cekoslovakia justru mengecam kapitalisme barat berdasarkan iman yan sama.
Bab 6 no 1
Siding raya DGD II diadakan di Evanston, 15-31 agustus 1954 dengan tema “Kristus harapan dunia”. Ada 6 seksi, yaitu: 1. Faith and Order (iman dan tata gereja- keesaan kita di dalam Kristus dan pepecahan kita sebagai gereja), 2. Penginjilan- pekabaran injil gereja kepada orang-orang yang ada di luar kehidupannya, 3. Masalah-masalah social- masyarakat yang bertanggung jawab di dalam perspektif seluruh dunia, 4. Perkara-perkara internasional-orang-orang Kristen dalam pergumulan terhadap masyarakat dunia, 5. Hubungan-hubungan antar kelompok-gereja ditengah-tengah ketegangan ras dan suku, 6, kaum awam- orang Kristen dalam panggilannya.
Sidang raya DGD III New Delhi (19 nopember-5 desember 1961) dengan tema “Yesus Kristus terang dunia”. Tema ini dibahas dalam 3 seksi, yakni witness, service dan unity. Beberapa peristiwa penting terjadi pada siding raya ini:
1.      Penggabungan antara IMC dan DGD yang menunjukan bahwa gereja-gereja barat dan gereja-gereja dari Asia dan Afrika adalah sama penting di gerakan oikumenis.
2.      Gereja-gereja ortodoks Rusia, Rumania, Bulgaria, Polandia menjadi anggota sehingga menjadi lebih nyata bahwa gerakan oikumenis bukan saja hal protestan.
3.      Keanggotaan DGD diperluas kearah dunia ke3 dan kearah kekristenan pentakostal.
4.      Perluasan dasar DGD menjadi “The world council of churches is a fellowship of churches which confess the Lord Jesus Christ as God and savior according to the scriptures and  therefore seek to fulfill together their common calling to the glory of one God, Father, Son and Holy Spirit”.
5.      Untuk pertama kalinya peninjau-peninjau dari gereja Katolik Roma sebagai hasil sikap lebih terbuka gereja ini.
Sidang raya DGD IV di Uppsala, Swedia 4-20 juli 1968, dengan tema “lihat, Aku menjadikan segala sesuatu baru. Why 21:5”. Penekanannya adalah pada pembangunan. Ada 6 seksi:
1.      Roh Kudus dan katolisitas gereja.
2.      Pembaharuan dalam pekabaran injil
3.      Ekonomi dunia dan perkembangan masyarakat
4.      Menuju keadilan dan perdamaian dalam perkara-perkara internasiaonal
5.      Ibadah
6.      Menuju gaya hidup baru
Proses konsilier adalah suatu progam yang diselenggarakan sejak 1985, untuk menggumuli bersama-sama masalah-masalah yang menyangkut justice, peace, and integrity of creation.
Bab 7 no 2
Konperensi di Lund di bawah pimpinan uskup agung Swedia, Brilioth. Menyadari bahwa selain factor-faktor teologis juga ada banyak factor non teologis yang memisahkan gereja. Disadari bahwa keesaan gereja tidak hanya perlu didiskusikan, tetapi juga perlu menjadi nyata dalam tindakan-tindakan ketaatan kepada perintah Kristus. Gereja-gereja dipanggil untuk bertindak bersama di semua hal, kecuali yang menyangkut perbedaan keyakinan yang dalam, yang memaksa mereka bertindak secara terpisah.
Di Montreal, pergaulan dengan teolog-teolog gereja Katolik Roma mendorong Faith and Order untuk berfikir tentang masalah-masalah eklesiologis yang memainkan peranan penting dalam ajaran gereja ini, seperti katolisitas gereja, jabatan, tradisi, dan sakramen. Di Lima tahun 1982, naskah perbaikan BEM diterima dalam bentuk definitive.
Proyek kedua yang dikerjakan oleh Faith and Order berhubung dengan BEM adalah merumuskan suatu pemahaman bersama mengenai iman rasuli. Proyek ketiga adalah mencari tata gereja atau struktur gerejani yang memungkinkan pengambilan keputusan bersama. Proyek BEM dapat dilihat sebagai usaha Faith and Order unuk mencapai keesaan gerejani yang kelihatan melalui proses saling mengakui dalam bidang jabatan dan sakramen.
Bab 8 no 1
Sejak 1867 gereja anglikan mengadakan konperensi-konperensi di istana uskup agung Canterbury di London, istana Lambeth untuk semua uskup anglikan dari seluruh dunia. Sejak 1948 dicari hubungan dengan gereja-gereja lain juga yang mempunyai keuskupan.
Perserikatan gereja-gereja reformed dan presbiterian, yang sejak 1954 bernama “perserikatan gereja-gereja reformed di seluruh dunia yang berpegang pada system presbiterial”. Kemudian berubah nama pada tahun 1970 menjadi World Alliance of reformed churches (WARC). Dengan tujuan melawan modernism di gereja-gereja reformed.
Pada tahun 1876 diadakan konperensi umum Methodist Episkopal Churches di Baltimore (USA), untuk mewujudkan kerjasama antara gereja-gereja metodis di Amerika.
Pada tahun 70-an ada gagasan untuk mengadakan konperensi gereja-gereja kongregasional diseluruh dunia dengan tujuan untuk mengumpulkan sumbangan kongregasionalis kepadaDGD dan gerakan oikumenis.
Tahun 1790, muncul juga gagasan untuk pertemuan-pertemuan gereje-gereja babtis, tetapi 1905 baru terlaksana di London.
Gereja-gereja Lutheran pada abad 19 telah mengadakan konperensi-konperensi bersama, tetapi baru pada 1923 pertemuan-pertemuan ini dilembagakan di Eisenach sebagai siding Lutheran sedunia. Tujuannya ialah memupuk kesadaran Lutheran.
Bab 9 no 4
Konperensi yang diadakan di Parapat, bulan maret 1957. Diputuskan untuk mendirikan suatu dewan dengan nama East Asia Christian Conference. Karena kesadaran bahwa oikumene di Asia tidak boleh menjadi sesuatu yang sempit, maka sejak konperensi Bangkok dibicarakan apakah Australia dan Selandia baru tidak perlu diikutsertakan. Konperensi parapet memutuskan demikian. Pada tahun 1959 bulan mei didirikanlah EACC Di Kuala Lumpur. Yang kemudian pada tahun 1973 nama EACC berubah menjadi Christian Conference of Asia (CCA).
Pada tahun 80-an, hubungan gereja-gereja Indonesia dengan CCA mengalami ketegangan yang disebababkan oleh perbedaan pendapat bagaimana gereja-gereja harus melibatkan diri di perjuangan politik. Gereja-gereja di Indonesia dikecam oleh gereja-gereja lain karena dianggap terlallu bersikap ikut-ikutan terhadap pemerintah.
Bab 10 no 4
Dorongan yang lebih langsung untuk gerakan oikumenis di Indonesia yang bermuara pada pembentukan DGI pada tahun 1950 datang dari konperensi IMC yang ketiga di Tambaran tahun 1938. Disana ada 9 orang Indonesia yang hadir dan mendengarkan Dr. Visser’t Hooft mengenai perkembangan pembentukan suatu dewan gereja-gereja sedunia yang sedang diusahakan. Itu menjadi dorongan untuk memikirkan kerjasama oikumenis di Indonesia yang lebih konkrit.
Pada 12 januari 1939 diadakan pertemuan di Batavia atas inisiatif GPI, GKJW, GKI Jabar, yang dihadiri juga oleh peserta-peserta tambaran da wakil-wakil organisasi pekabaran injil. Menjelang perang dunia kedua menunjukan bahwa peranan pekabaran injil, khusnya melalui Zendings Consulat dan IMC cukup penting dalam menempuh jalan yang berakhir pada pembentukan DGI. Sekaligus jelas bahwa  usaha-usaha untuk membentuk DGD turut berpengaruh, sebab member semangat untk mengusahakan suatu dewan yang sama di Indonesia.
Bab 11 no 4
Sikap lebih terbuka terhadap gereja-gereja lain di dorong oleh konstitusi dogmatis tentang gereja “lumen gentium” yang mendobrak pemahaman semula bahwa gereja harus disamakan dengan gereja yang dipimpin paus. Gereja adalah bangsa Allah yang sama seperti bangsa Israel pada zaman PL, sedang dalam perjalanan. Gereja adalah umat musafir. Orang-orang Kristen yang belum mempunyai hubungan dengan pengganti Petrus juga merupakan warga bangsa Allah, sehingga gereja Katolik Roma wajib memelihara hubungan persaudaraan dengan mereka.
Bab 12 no 3
Mereka harus diterima sebagai saudara dalam Kristus. Namun mereka tidak menikmati persekutuan penuh dengan gereja Katolik Roma. Secara implicit dikatakan bahwa ada persekutuan, walaupun tidak sempurna. Dekrit ini tetap melihat gereja Katolik Roma sebagai gereja yang sebenarnya, karena pusatnya adalah kursi Petrus, yang kepadanya Kristus mempercayakan semua alat keselamatan secara penuh.
Gereja-gereja yang bukan Katolik disini dan ditempat-tempat lain disebut “gereja-gereja dan persekutuan-persekutuan gerejani”. Gereja-gereja yang dimaksudkan khususnya adalah gereja-gereja ortodoks yang mempunyai hubungan langsung dengan gereja mula-mula dan memelihara melalui jabatan rasuli. Gereja-gereja yang tidak memelihara tradisi dan jabatan rasuli secara murni, terutama gereja-gereja hasil reformasi disebut persekutuan-persekutuan gerejani.
 Bab 13 no 1
Sejarah laporan BEM, sebenarnya mulai pada konperensi pertama Faith and Order di Lausanne tahun 1927. Pada konperensi Faith and Order di Montreal 1963 mulai disadari bahwa telah tiba saatnya untuk melangkah lebih jauh dan merumuskan laporan-laporan yang memperlihatkan persetujuan yang sedang timbul diantara gereja-gereja mengenai babtisan. Panitia Faith and Order menyetujui hal ini pada rapat di Bristol 1967. Dan kemudian konsep-konsep pertama mulai ditulis setelah itu. Konsep tentang perjamuan langsung ditulis sesudah Bristol dan diperluas dikemudian hari.
Konsep mengenai babtisan ditetapkan di jenewa (1970) dan diperbaiki (1974). Konsep mengenai jabatan ditentukan di Marseile (1972) dan diperbaiki di Accra (1974). Melalui rapat di Bangalore (1978) akhirnya BEM ditetapkan di Lima, Peru (2-16 januari 1982). Di Lima juga diambil keputusan mengenai liturgy yang disusun untuk kebaktian perjamuan kudus.
BEM tidak merupakan hasil kesepakatan yang sempurna mengenai baptisan, perjamuan dan jabatan, tetapi melaporkan tentang kesepakatan yang sedang tumbuh di percakapan-percakapan di dalam panitia Faith and Order sendiri dan diantara panitia ini dengan gereja-gereja. BEM adalah kesepakatan tentang arah ke mana kesepakatan yang sempurna harus dicari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar