Powered By Blogger

Minggu, 30 September 2012

kepercayaan suku2



KELOMPOK 1
INDONESIA BAGIAN TIMUR:
PAPUA, TIMOR, SABU, SUMBA, FLORES
UNTUK MELENGKAPI TUGAS MATA KULIAH:
ILMU AGAMA 2
DOSEN: Bpk. KAHAR HADIWINOTO
Disusun oleh:
Yuas Neto
Hasmiyati Tolule

Melisa Sinaga

Desy Joseph
Erimia Gulo

Marwati Luahambowo

Yonathan Balalembang

Filipus Omeri Waruwu

Alfareali Lumano



Sekolah Tinggi Teologi Providensia
Batu, September 2011
PAPUA
A.     Tokoh-Tokoh Dunia Roh
·         Dewa Tertinggi
Bagi masyarakat Papua, dewa tertinggi adalah diri mereka sendiri, dengan merujuk kepada pengakuan bahwa nenek moyang mereka adalah dewa. Secara khusus Orang Asmat yang tinggal di Papua selatan yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Dalam keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan. Yang kemudian Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir.

·         Dewa/ Roh Leluhur[1]
Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, ada seorang dewa yang bernama Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah yew dan mengukir dua patug yang sangat indah serta membuat sebuah genderang em, yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat (Zegwaard 1955)

·         Roh Penguasa Wilayah
Dengan adanya anggapan atau kepercayaan bahwa Dewa Fumeripitsy adalah pembuat pasangan pertama, maka ia juga dianggap sebagai dewa yang sakti dan memiliki kuasa yang luar biasa untuk daerah Papua selatan.

·         Roh-Roh Jahat dan Baik
Orang Asmat yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai macam ruh yang mereka bagi dalam tiga golongan, yaitu:
yi-ow, atau ruh nenek moyang yang sifatnya pada dasarnya baik, terutama bagi keturunannya.
osbopan, atau ruh jahat yang membawa penyakit dan bencana.
dambin-ow atau roh jahat orang yang mati konyol (Zegwaard 1953).

Ruh-ruh yi-ow adalah penjaga hutan-hutan sagu, danau-danau dan sungai-sungai yang penuh ikan dan hutan-hutan yang penuh binatang buruan. Orang Asmat berkomunikasi secara simbolis dengan para yi-ow dengan berbagai upacara sajian berulang yang biasanya dipimpin oleh ndembero, atau pemuka upacara.
Ruh-ruh ozbopan dianggap menghuni beberapa jenis pohon tertentu, gua-gua yang dalam, batu-batu besar yang mempunyai bentuk khusus, tetapi juga hidup dalam tubuh jenis-jenis binatang tertentu. Sakit dan bencana biasanya disebabkan oleh ruh jahat, yang juga harus dipuaskan oleh manusia dengan berbagai macam upacara sajian. Berbeda dengan upacara-upacara sajian untuk berkomunikasi dengan para yi-ow, upacara sajian kepada para osbopan dan dambin ow tak dilakukan secara berulang, tetapi hanya kalau ada orang yang sakit dan bila terjadi bencana. Ruh-ruh itu diupayakan agar tidak terlampau sering mendekati tempat tinggal manusia, dengan melakukan serangkaian pantangan, dan kadang-kadang dengan            ilmu    gaib      protektif.

B.     Mitos Penjadian

·         Manusia[2]
Cerita dewa Fumeripitsy berlanjut setelah ia menciptakan pasangan pertama. Sesudah itu datang lagi seekor buaya raksasa yang juga mencoba menyerang kedua manusia pertama tadi, tetapi Fumeripitsy dapat membunuhnya juga; kepala buaya itu dipenggalnya dan badannya dipotong-potong menjadi bagian-bagian yang kecil, yang dilemparkannya ke semua penjuru mata angin. Potongan buaya tadi itulah yang menjadi nenek-moyang suku-suku bangsa lain yang tinggal di sekeliling tempat tinggal orang Asmat dan yang menjadi musuh mereka. Dengan demikian mitos ini menggambarkan tindakan pengayauan pertama dan penciptaan manusia musuh Asmat oleh Fumeripitsy. Mitos itu juga melambangkan proses daur ulang hidup dan mati (Smith 1970; Schneebaum 1985).

C.     Legenda
Ø  Manamakeri[3]
Manamakeri atau Manamaker merupakan sebuah mitos atau cerita rakyat yang tekenal di Papua. Cerita Manamakeri ini merupakan cerita rakyat yang berasal dari suku Biak, Papua. Cerita ini menceritakan tentang seorang Manamakeri yang badannya penuh dengan kudis (kurap),tetapi memiliki kekuatan supranatural.
            Ceritanya berawal dari kepergian Manamakeri dari kampungnya karena merasa dikucilkan baik oleh orang kampung tersebut maupun oleh keluarganya sendiri. Setibanya dikampung yang baru Manamakeri kemudian memilih untuk tinggal dikampung tersebut, sampai kemudian terjadi pertemuannya dengan Sampari (bintang pagi/bintang kejora) dan kemudian Manamakeri beserta anak dan istrinya kemudian meninggalkan kampung tersebut untuk berlayar dan mencari kampung atau tempat tinggal yang baru. Diakhiri perjalanannya sebelum meninggalkan Numfor (pulau yang ditemukan Manamakeri), ia berjanji jika suatu saat ia akan kembali untuk membawa kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang di Papua. [4]Cerita atau mitos inilah yang merupakan awal atau dasar dari pergerakan yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka, dimana menurut mereka kehidupan yang lebih layak akan datang dari seorang pemimpin yang merupakan orang Papua asli.

D.     Upacara Adat
·         Adat Suku/ Kampung Berkaitan dengan:
Ø  Kepemimpinan[5]
Dalam kehidupannya, Suku Asmat memiliki 2 jabatan kepemimpinan, yaitu
Kepemimpinan yang berasal dari unsur pemerintah dan Kepala adat/kepala suku yang            berasal dari      masyarakat. Sebagaimana lainnya, kapala adat/kepala suku dari Suku Asmat sangat berpengaruh dan berperan aktif dalam menjalankan tata pemerintahan yang berlaku di lingkungan ini. Karena segala kegiatan di sini selalu didahului oleh acara adat yang sifatnya tradisional, sehingga dalam melaksanakan kegiatan yang sifatnya resmi, diperlukan kerjasama antara kedua pimpinan        untuk   memperlancar  proses  tersebut.

Bila kepala suku telah mendekati ajalnya, maka jabatan kepala suku tidak diwariskan ke generasi berikutnya, tetapi dipilih dari orang yang berasal dari fain, atau marga tertua di lingkungan tersebut atau dipilih dari seorang pahlawan yang   berhasil            dalam  peperangan.
Sebelum para misionaris pembawa ajaran agama datang ke wilayah ini, masyarakat Suku Asmat menganut Anisme. Dan kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan, Khatolik bahkan Islam.

·         Adat Perorangan/ Siklus Kehidupan Berkaitan dengan:
Ø  Hidup[6]
Konsep tradisional orang Asmat tentang hidup didasarkan pada keyakinan akan adanya suatu daerah di seberang ufuk terurai tadi. Kerena itu apabila nenek-moyang mengendaki kelanjutan keturunan, mereka mengirimkan suatu ruh tertentu ke bumi melalui seberkas sinar matahari, yang mendarat di atas atap rumah tempat tinggal wanita yang telah ditakdirkan menjadi ibu anak asal ruh tadi. Wanita itu akan hamil dan kemudian melahirkan bayi. Walaupun orang Asmat tahu bahwa hubungan seks berkaitan dengan kelahiran bayi, fungsinya hanya untuk memberi bentuk sebagai manusia kepada ruh yang masuk ke dalam kandungan ibu itu. Dalam hal ini peranan ayah si bayi sama dengan seorang pemahat patung yang memberi bentuk kepada kayu yang disediakan oleh alam kepadanya (Zegwaard        1953).

Ø  Pernikahan[7]
proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap. Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita melakukannya di ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang berkerja di ladang. Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh wanita suku ini hingga berumur 5 tahun.

Ø  Melahirkan
tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.

Ø  Masa Anak-Anak
Pada masa anak-anak mereka diwajibkan untuk belajar tentang adat dan keyakinan nenek moyang mereka, sehingga ketika mereka dewasa dapat hidup dengan baik. Selain orang tua mereka, mereka juga mendapat bekal tentang kepercayaan dari tetua adat.

Ø  Masa Dewasa
Masa dewasa dilewati dengan mempelajari dan melakukan skill atau keahlian-keahlian tertentu, bagi laki-laki yaitu berburu, sedang bagi wanita adalah berladang. Melakukan kegiatan bercocok tanam di ladang, dengan jenis tanamannya wortel, matoa, jeruk, jagung, ubi jalar dan keladi juga beternak ayam, babi.

Ø  Kematian
Konsepsi orang Asmat mengenai maut sama dengan dalam banyak kebudayaan lain. Mereka yakin bahwa tiap makhluk manusia mempunyai paling sedikit enam jiwa yang menjiwai beberapa bagian tubuh yang berlainan. Berbagai macam penyakit yang diketahui oleh orang Asmat disebabkan karena jiwa yang menjiwai bagian tubuh yang sakit itu sedang pergi atau menghilang (Amelsvoort 1964: hlm 55-56). Itulah sebabnya cara dan teknik yang digunakan dukun penyakit namer ow untuk menyembuhkan orang sakit adalah dengan mengupayakan atau membujuk jiwa yang pergi itu agar kembali ke tubuh si sakit tadi. Apabila beberapa jiwa yang telah pergi dan tak dapat dibujuk agar kembali, si sakit yang bersangkutan akan meninggal (Amelsvoort 1964: hlm. 53).

Demikian konsepsi orang Asmat tentang maut adalah perginya satu atau beberapa jiwa manusia untuk tak kembali lagi. Jiwa-jiwa yang membebaskan diri dari tubuh orang itu menjadi ruh yang berkeliaran sekitar tempat tinggal manusia. Sesudah beberapa waktu tertentu ruh akan pergi ke dunia ruh di belakang ufuk, dan hidup abadi di situ atau setelah beberapa waktu kembali ke bumi dan hidup kembali          dalam  tubuh   seorang                        bayi.

·         Hal yang Dianggap Tabu[8]
Ø  Pantangan
Melakukan hubungan seks di dalam rumah dianggap tidak sesuai sopan santun dan norma susila mereka, jadi untuk itu hubungan seks hanya boleh dilakukan di ladang atau kebun, meskipun di hadapan saudara atau teman yang sedang bekerja. Hal ini lebih dianggap lumrah.

Ø  Pamali yang diberlakukan
Bagi pasangan yang melakukan hubungan seks di dalam rumah, maka yang bersangkutan harus memotong babi dan diberikan kepada tetua adat sebagai bukti penyesalan. Kemudian tetua adat menentukan jangka waktu hingga mereka boleh bersama kembali. Dalam kasus ini si suami dan istri dipisahkan untuk beberapa lama sesuai keputusan tetua adat.
TIMOR
A.     Tokoh-Tokoh Dunia Roh[9]
Matahari: Dewa Mahakuasa
            Dewa Matahari dikenal sebagai penguasa langit dan hari. Etnis Dawan mempunyai pandangan bahwa nama dewa-dewi terutama dewa tertinggi tidak boleh disebut atau disapa dengan nama yang asli. Karena itu dewa tertinggi dan mahakuasadiberikan nama yang tidak lain adalah sebuah atribut Uis Neno. Kata Uis berasal dari kata Usif  yang berarti raja, tuan, dan dewa. Kata Neno artinya matahari, langit, hari. Uis Neno bersinar atau berapi-api seperti matahari yang merentangkan naungannya kepada seluruh umat manusia. Ia menyebabkan penampakan di permukaan bumi untuk berubah dalam pergantian musim. Ia menyediakan bagi manusia suatu lahan, memberi padi dan jagung serta menjaga ksuburan tanah. Uis Neno juga disebut sebagai Atetus, Amnit.  Uis Neno adalah suatu realitas yang sangat jauh, suci, keramat. Karena suci, mahatinggi dan keramat maka masyarakat Dawan memberi penghormatan dan sembah. Menurut pemahaman orang Timor bahwa Allah mereka adalah Allah yang tidak berwajah dan tidak bernama, tapi mempunyai kekuatan dan kekuasaan atas manusia. Atas dasar ini orang Timor tidak mempunyai tradisi patung sebagai idola mereka.
            Kepercayaan manusia begitu kuat bahwa matahari dan bulan serta bintang-bintang adalah dewa-dewi tertinggi, tetapi yang paling berkuasa adalah matahari. Menurut cara pikir orang Timor, matahari termasuk dalam kategori jantan sedangkan bulan dan bintang dikategorikan sebagai betina. Bulan adalah istri dari matahari dan bintang-bintang adalah adik lelakinya. Penciptaan terjadi karena adanya hubungan intim antara matahari dengan bulan. Keduanya suci dan karena itu keduanya dihormati dan disembah.
Dewa-dewi orang Timor tidak hanya disembah dengan pemberian sesajian melainkan juga dengan pujian dan syukur. Alasanya karena dengan demikian para dewa-dewi akan memberkati dan melindungi manusia dalam bentuk pemberian hujan dan sinar matahari, kesuburan dalam hidup berkeluarga dan pekerjaan, kesehatan dan keberhasilan serta bimbingan.
            Ada dua bentuk Uis Neno yaitu Uis Neno Mnanu (yang tinggi) dan Uis Neno Pala (dewa langit yang lebih rendah). Keduanya mempunyai satu kesatuan yang terpisahkan. Kesatuan itu tampak dalam menjalankan tugas. Uis Neno Pala menjalankan tugas perutusan yang diberikan oleh Uis Neno Mnanu yakni mlindungi bumi serta segala isinya. Kekuatan yang dimiliki oleh Uis Neno Pala adalah berasal dari Uis Neno Mnanu.
            Dalam budaya masyarakat Dawan  diwajibkan kepada setiap keluarga memiliki tiang altar yang bercabang tiga (trisula). Pertama tiang yang berukuran panjang dan tinggi yang ditanam ke dalam tanah adalah Uis Neno Mnanu yang melambangkan satu kesatuan antara makluk yang hidup di langit, di bumi dan di dalam perut bumi. Ketiganya dilambangkan dalam batang tiang yang ditanam ke dalam tanah. Kedua, tiang yang menjadi pemalang (gaya salib) adalah Uis Neno Pala yang melambangkan hubungan antara makluk hidup di dunia
yang tentunya diikat oleh hubungan dengan Uis Neno Mnanu
            Pokok yang mendasari pembedaan Uis Neno ke dalam wujud-wujud yang berbeda adalah pengakuan orang Dawan terhadap kenyataan Uis Neno adalah sangat jauh sekaligus dekat. Tugas Uis Neno Pala adalah penghantar doa-doa kepada Uis Neno Mnanu yakni dewa langit yang tertinggi.
            Masyarakat Dawan percaya akan satu Tuhan yang memanifestasikan diri-Nya dalam berbagai dewa lain dengan tujuan untuk menguasai dan menjaga kehidupan manusia dan dunia. Uis Neno adalah Ama Akubelan Ma Abal-bal (Bapa Yang Mahatinggi dan Kekal). Masyarakat Dawan yakin bahwa dalam realitas kehidupannya selalu dikelilingi oleh roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang tak kelihatan. Sebagai akibat dari pengalaman itu mereka sering berkontak dengan roh-roh tersebut. Walaupun demikian, masyarakat Dawan tetap percaya akan adanya Uis Neno sebagai dewa tertinggi yang menduduki posisi sentral. Dia adalah penguasa tunggal
Atribut-Atribut Uis Neno
             Sebagaimana suku bangsa lain, demikian juga  hal yang sama terdapat dalam masyarakat Timor yang memiliki dewa teringgi yang disebut Uis Neno. Namun nama Uis Neno sendiri adalah sebuah atribut yang digunakan untuk menyebut nama tertinggi dewa mereka. Bangsa ini mempunyai tradisi lain yakni tidak membiasakan diri untuk menyebut dewa tertinggi dengan nama yang asli melainkan selalu menggunakan berbagai aribut.

    Apinat ma Aklahat
Artinya “yang menyala dan membara”. Keduanya menunjuk kepada sifat dari matahari yang adalah dewa tertinggi. Apinat berarti “yang menyala, bersinar, bercahaya”  sedangkan Aklahat merupakan peningkatan dari Apinat artinya “yang membara dan menghanguskan”. Dewa matahari adalah dewa pertama  yang menyala, bercahaya, menyinari, menghangatkan, menyenangkan, lalu membara dan menghanguskan dan akhirnya bisa terjadi kebakaran yang menyebabkan kematian.

    Amoet ma Apakaet
Artinya “mencipta dan membentuk”. Dia-lah yang mempunyai untuk mencipta segala sesuatu. Dia-lah pemberi tubuh jasmani, kemampuan rohani dan intelektual untuk bisa hidup dan berkembang sebagai makluk yang sehat. Masyarakat Dawan yakin bahwa Uis neno adalah perencana dan pelaksana pencipta yang tiada tandingannya di dunia. Karena itu, ciptaan-Nya tetap suci dan Dia-lah pemilik sesungguhnya.
Alikin ma apean
Artinya “yang membuka jalan dan yang menghantar kepada kehidupan”. Di sini orang Dawan mengakui fungsi dewa matahari sebagai orangtua yang memelihara benih kehidupan hingga dilahirkan ke dunia
    Afinit ma Anesit
Artinya “yang melampaui dan melebihi segala sesuatu dalam ukuran tinggi dan isi”. Afinit artinya lebih panjang dan lebih tinggi. Sedangkan Anesit juga memiliki pengertian “lebih” yakni lebih banyak, lebih besar. Keduanya mempunyai pengertian mengatasi dan melampaui segala sesuatu. Uis Neno adalah dewa tertinggi, yang menciptakan dirinya sendiri dan berada di atas segala sesuatu.

    Ahaot ma Afatis
Atribut ini dikenakan kepada Uis Neno untuk mengungkapkan fungsi kebapaan dan keibuan. Ahaot berarti dia yang memberi makan dan minum secara jasmani; yang bertanggung jawab untuk pemenuhan kebutuhan jasmani. Sedangkan Afatis menunjuk kepada intensivitas kepedulian dewa tertinggi kepada manusia baik dalam hal jasmani, rohani ataupun hal batiniah.

Ane’ot ma Amafot
Artinya “pelindung, pemberi arah, pemberi berkat dan rahmat”. Marahari sebagai dewa tertinggi dapat memberi atau menahan sinarnya kepada manusia, yang berarti bisa membawah berkat dan kehidupan, kutukan, kematian dan kegelapan. Berpedoman pada dasar  tradisional orang Dawan inilah maka dewa tertinggi memberi kepada manusia kebaikan dan kejahatan, terang dan gelap, kehidupan dan kematian.
  1. Mitos Penjadian[10]
Uis Neno merupakan sang pencipta, sang penyelenggara dan Mahakuasa. Oleh karena itu, manusia harus berusaha mengambil hatinya dengan berbagai upacara ritual. Uis Neno diartikan sebagai Dewa atau “Tuhan”. Uis Neno adalah “Dewa Langit” atau “Dewa Tertinggi”, memiliki kekuatan yang lebih tinggi, dan berkuasa atas langit dan bumi yang diyakini oleh masyarakat Dawan sebagai “Tuhan”. Uis Neno dianggap sebagai asal mula segala sesuatu; pencipta, pemelihara dan penguasa alam semesta.
  1. Legenda[11]
    Kerajaan Amanatun (Onam) adalah salah satu peradaban tertua yang ada di Timor Tengah Selatan. Pada masa pendudukan kolonial Belanda, Timor Tengah Selatan dikenal dengan nama Zuid Midden Timor hingga pada akhirnya diganti dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi provinsi setelah negara Republik Indonesia resmi berdiri. Selain Amanatun, dua kerajaan besar di Timor adalah Kerajaan Belu dan Kerajaan Mollo. Ketiga kerajaan ini masih terikat persaudaraan           sedarah.

    Syahdan, di zaman kuno, ada tiga bersaudara yang tiba di Timor. Ketiga saudara ini, masing-masing bernama Tei Liu Lai, Kaes Sonbai, dan Tnai Pah Banunaek, kemudian sepakat untuk menjelajahi pulau Timor. Pada akhirnya, penjelajahan mereka membuahkan hasil dan berdirilah tiga kerajaan besar sebagai wujud wilayah yang masing-masing telah mereka kuasai. Tei Liu Lai mendirikan Kerajaan Belu, Kaes Sonbai menguasai wilayah Kerajaan Mollo, sedangkan si bungsu            Tnai     Pah      Banunaek        memimpin       Kerajaan            Amanatun.

    Nama “Amanatun” berasal dari kata “Ama” dan “Mnatu”, yang berarti "Bapak" dan “Emas". Sedangkan penyebutannya sebagai nama kerajaan disebabkan karena Raja Tnai Pah Banunaek sangat gemar mengenakan busana dan perhiasan dari emas. Kerajaan yang beribukota di Nunkolo ini merupakan kerajaan yang terletak paling selatan di wilayah Timor Tengah Selatan. (Banunaek,2007:3).

    Mulanya, Kerajaan Amanatun hanya meliputi wilayah-wilayah kecil, termasuk Noebone dan Noebanu, atau yang dulu disebut juga sebagai wilayah Anas. Anas merupakan sebuah wilayah di bawah kuasa Dinasti Nesnay. Berdasarkan Gouvernement Besluit (Keputusan Pemerintah Hindia Belanda) No. 2 Tahun 1913, Anas bergabung dengan wilayah Timor Tengah Selatan dan menjadi distrik            dari      Kerajaan          Amanatun.

    Mengenai riwayat Kepulauan Timor sendiri sudah tersurat sejak tahun 1350. Catatan dari Tiongkok yang ditulis oleh Dao Zhi (hidup pada era Dinasti Sung) menyatakan bahwa kala itu Timor memiliki beberapa gerbang pelabuhan laut yang ramai, salah satunya adalah di Batumiao-Batumean Fatumean Tun Am (Tun Am). Bandar Tun Am ini menjadi pusat transaksi dagang dan dikunjungi para pedagang dari Makassar, Malaka, Jawa, Cina, India, serta Arab. Bahkan, orang-orang Eropa dari Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda, kemudian ikut berniaga di bandar ini.

    Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, baru sepuluh warsa kemudian Portugis tiba di Pulau Timor. Tercatat dalam arsip lama bahwa pada 22 Januari 1522, Magalhaens Pigafenta berlabuh di Pantai Selatan Pulau Timor dan mengunjungi Raja Amanatun. Pada 1669 Raja Amanatun mulai berhubungan dengan Vereeniging Oost Compagnie (VOC), maskapai perdagangan         dari      Belanda.

    Selain kepentingan ekonomi, bangsa-bangsa Eropa juga mengemban dua misi lain, yaitu memperluas tanah jajahan dan menyebarkan agama Nasrani. Arsip kuno Portugis Summaria Relaçam do Que Obrerao os Relegiozas dan Ordem dos Pregadores menyebutkan bahwa pada 1641, bala tentara Portugis yang berangkat dari Larantuka, Flores, berhasil tiba di wilayah Kerajaan         Amanatun       

    Ketika itu misionaris Nasrani Portugis yang dipimpin Frey Lucas da Cruz berhasil mengkristenkan Raja Amanatum beserta keluarga istana. Raja Amanatum mau memeluk agama Kristen karena tentara Portugis bersedia membantu Kerajaan Amanatun dalam menghadapi serangan dari Kerajaan Gowa-Tallo yang kala itu sudah memeluk Islam.

    Pada 11 November 1749, Belanda dan Portugis terlibat perebutan tanah jajahan di Timor, konflik ini dikenal sebagai Perang Penfui. Kerajaan Amantun berdiri di belakang Portugis karena tidak setuju dengan rencana Belanda yang ingin membagi wilayah di Timor meski pada akhirnya Kerajaan Amanatun jatuh juga ke dalam cengkeraman kapitalisme Belanda yang berhasil mengalahkan           Portugis.

    Dalam catatan arsip VOC yang ditulis Arnoldus van Este tahun 1758, disebutkan bahwa Raja Amanatun adalah salah satu raja yang berkuasa di Timor. Raja Amanatun yang dimaksud dalam arsip yang kini disimpan di Denhaag itu disebut sebagai Don Louis Nay Konnef of Amanatun. Nama penguasa Amanatun lainnya yang juga disebut di dalam arsip-arsip VOC lainnya adalah Raja     Bab‘I   Banu    Naek.

    Upaya penyatuan beberapa kerajaan yang ada di wilayah Timur Tengah Selatan dalam suatu wilayah administratif mulai tampak sejak dekade kedua abad ke-20. Pada 1920, Kota Soe ditetapkan menjadi ibukota Zuid Midden Timor atas kesepakatan bersama dari ketiga raja yang berkuasa di sana. Ketiga raja itu antara lain Raja Lay Akun Oematan (Kerajaan Molo), Raja Pae Nope (Kerajaan Amanuban), dan Raja Kolo Banunaek (Kerajaan Amanatun).

    Meski selalu berada di bawah penindasan kolonial, beberapa kali Kerajaan Amanatun melakukan percobaan perlawanan terhadap penjajah. Raja Amanatun bergelar Raja Muti Banunaek II yang memerintah pada kurun 1900-1915 pernah diasingkan ke Ende, Flores, pada 1915.
    Raja Muti Banunaek II dibuang ke Ende karena tidak mau takluk kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sang raja yang pemberani ini tinggal di tanah pembuangan hingga akhir hayatnya, Raja Muti Banunaek II wafat di Ende pada 1918.

    Setelah Indonesia merdeka, Kerajaan Amanatun bersama Kerajaan Molo dan Kerajaan Amanuban membentuk Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan ibu kota Soe, yang sekarang termasuk ke dalam wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
  2. Upacara Adat
·         Adat Suku/ Kampung Berkaitan dengan:
Ritus Bercocok Tanam Dengan kondisi alam yang tandus dan kering, masyarakat Dawan umumnya bertani berpindah-pindah tempat. Untuk persiapan lahan, masyarakat Dawan harus melewati beberapa tahap berikut: “(1) tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun mau), (2) tahap membakar hutan (polo nopo/sifo nopo), (3) tahap menanam (tapoen fini buke), (4) tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), (5) tahap panen perdana (eka pen a smanan ma anne smanan)” .
Penjelasan tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun mau) Hutan yang telah ditentukan dikerjakan secara bersama-sama atau gotong royong. Dalam tahap ini seekor binatang dikorbankan. Hal ini bertujuan untuk memohonkan kekuatan dan semangat serta keselamatan bagi mereka yang sedang bekerja misalnya sengatan ular berbisa, ditimpa pohon dan luka akibat penggunaan parang.
b. Tahap Membakar Hutan (polo nopo/sifo nopo) Tiga minggu berselang dan ranting-ranting sudah kering, maka tibalah saatnya untuk dibakar. Proses pembakaran biasanya dilakukan pada sore atau malam hari. Dipilih pada sore atau malam hari karena pada saat itu angin yang bertiup tidak begitu kencang. Hal ini bertujuan agar api tidak merambah ke hutan disekitarnya. Setelah kebun baru dibakar, semua orang kembali ke kampung. Setibanya disana mereka disiram dengan air. Penyiraman kepada para pekerja mempunyai makna simbolis, yaitu menyeimbangkan kembali kekuatan-kekuatan alam. Bumi yang panas akibat pembakaran kebun memjadi dingin kembali. Dengan demikian mereka berbesar hati untuk mendapatkan hasil yang berlimpah.
c. Tahap Menanam (tapoen fini buke) Pada saat musim hujan tiba, masyarakat Dawan mulai mempersiapkan benih yang akan ditanam. Sebelum ditanam benih tersebut harus dibawa ke kepala suku atau amaf, untuk dimohonkan berkat atas benih-benih tersebut. Sebelum dimohonkan berkat, benih-benih tersebut diletakan di atas sebuah altar batu. hal ini bertujuan agar benih-benih yang ditanam bebas dari serangan semut dan binatang-binatang lain.
d. Tahap Pertumbuhan Tanaman (eka ho’e) Ketika tanaman sudah mulai tumbuh, dilakukan upacara eka ho’e. upacara ini dilangsungkan secara sederhana dengan mempersembahkn seekor hewan korban. Sebelum upacara makan bersama (tol tabua), amaf mendaraskan sebuah doa adat. Hal ini bertujuan untuk menghindari erosi yang disebabkan oleh hujan lebat.
e. Tahap Panen Perdana (eka pen a smanan ma anne smanan) Ketika tiba waktunya, dipilih beberapa jagung yang besar, lengkap dengan daun dan batangnya untuk dipersembahkan kepada Uis Pah. Semua bulir jagung yang dibawa oleh masyarakat diletakan diatas altar batu. Seorang amaf mendaraskan doa. Setelah itu, semua jagung yang dibawa masyarakat dimasak dan dimakan bersama-sama. Upacara ini menandakan bahwa jagung baru sudah bisa dimakan.
·         Adat Perorangan/ Siklus Kehidupan Berkaitan dengan:
Ø  Pernikahan
Pola perkawinan yang disukai oleh orang Timor, adalah perkawinan yang terjadi antara seorang pemuda dengan seorang anak putri saudara laki-laki ibu. Walaupun demikian seorang pemuda bisa kawin dengan wanita manapun, asal tidak dengan anak saudara ibunya yang dianggap masih sekerabat.
Mas kawin biasanya dibayar secara berangsur-angsur, sehingga penerimaan keanggotaan si istri dan anak-anaknya ke dalam klen si suami adalah secara berangsur-angsur pula. Ada juga kebiasaan untuk tidak menerima pelunasan harta mas kawin yang terakhir, misalnya di daerah Swapraja Amarasi. Disana angsuran mas kawin yang terakhir ditolak oleh kerabat-kerabat dari klen si isteri, supaya si isteri tetep dapat mempertahankan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam klen asalnya
SABU
A.     Tokoh-Tokoh Dunia Roh[12]
Masyarakat Sabu menganut agama asli jingitiu sebelum agama kristen. Kini
80 % mastyarakat Sabu beragama kristen protestan. Walaupun begitu, pola pikir
mereka masih didukung jingitu. Norma kepercayaan mereka masih tetap berlaku
dengan kelender adat yang menentukan saat menanam dan upacara lainnya.

Norma kepercayaan asli masih menerapkan ketentuan hidup adat atau uku,
yang konon dipercayai mengatur seluruh kehidupan manusia dan berasal dari
leluhur mereka. Semua yang ada dibumi ini Rai Wawa (tanah bawah) berasal dari Deo
Ama atau Deo moro dee penyi
(dewa mengumpulkan membentuk mancipta). Deo Ama
sangat dihormati sekaligus ditakuti, penuh misteri. Menurut kepercayaan itu
dibawah Deo Ama terdapat berbagai roh yang mengatur kegiatan musim seperti
kemarau oleh Pulodo Wadu, musim hujan oleh Deo Rai.

Pembersihan setelah ada pelanggaran harus dilakukan melalui Ruwe(suatu upacara),
sementara Deo Heleo merupakan dewa pengawas. Upacara adat yang
dilakukan harus oleh deo Pahami, orang yang dilantik dan diurapi. Upacara
dilakukan dengan sajian pemotongan hewan besar. Kegiatan setiap upacara berpusat
pada pokok kehidupan yakni pertanian, peternakan dan penggarapan laut. Karena
itu selalu ada dewa atau tokoh gaib untuk semua kegiatan, termasuk menyadap
nira. Kegiatan pada musim hujan berfungsi pada tokoh dewa wanita "Putri Agung",
Banni Ae, disamping dewa pemberi kesuburan dan kehijauan Deo manguru. Karena
sangat bergantung pada iklim maka mereka memiliki tiga makluk gaib yakni liru
balla (langit), rai balla (bumi) dan dahi balla (laut)
. Masyarakat Sabu juga
memiliki pembawa hujan yaitu angin barat : wa lole, selatan : lou lole dari
Timur: dimu lole. Begitu banyak dewa atau tokoh gaib sampai hal yang
sekecil-kecilnya seperti petir dan awan. Begitu juga pada usaha penyadapan nira,
ada dewa mayang, dewa penjaga wadah penampung (haik) sampai haba hawu dan
jiwa hode yang menjaga kayu bakar agar cukup untuk memasak gula Sabu.

  1. Legenda
Legenda menuturkan, nenek moyang orang Sabu datang dari
seberang yang disebut Bou dakka ti dara dahi, agati kolo rai ahhu rai panr hu
ude kolo robo
. Artinya, orang yang datang dari laut, dari tempat jauh sekali,
lalu bermukim dipulau Sabu. Orang pertama adalah Kika Ga dan kakanya Hawu Ga.
Keturunan Kika Ga inilah yang disebut orang Sabu (Do Hawu) yang ada sekarang.
Nama Rai Hawu atau pulau Sabu berasal dari nama Hawu Ga, salah satu leluhur
mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Sabu hidup dalam
kekerabatan keluarga batih (Ayah, ibu dan anak) disebut Hewue dara ammu.
  1. Upacara Adat
·         Adat Suku/ Kampung Berkaitan dengan:

Kampung masyarakat Sabu memiliki Uli rae, penjaga kampung, kemudi kampung
bagian dalam gerbang Timur (maki rae) disebelahnya, serta aji rae dan tiba rae,
(penangkiskampung) sama-sama melindungi kampung.

Oleh karena itu setiap rumah dibangun harus dengan upacara untuk memberi
semangat atau hamanga dengan ungkapan wie we worara webahi (jadikanlah seperti
tembaga besi. Dalam setiap rumah diusahakan tempat upacara yang dilakukan sesuai
musim dan kebutuhan, karena semua warga rumah yang sudah meninggal menjadi deo
ama deo apu (dewa bapak dewa leluhur) diundang makan sesajen. Demikian juga
terhadap ternak, selalu ada dewa penjaga, disebut deo pada untuk kambing serta
dewa mone bala untuk gembalanya. Tetapi selalu ada saja lawannya. Karena itu,
ada dewa perussak yang kebetulan tinggal atau lewat yakni wango dan merupakan asal
dari segala macam penyakit. Hama tanaman, angin ribut dan segala bencana.

Karena itu, kepadanya harus dibuat upacara khusus untuk mengembalikannya
ke laut supaya masyarakat terhindar dari berbagai bencana walaupun ada
kepercayaan bahwa sebagai musibah itu merupakan kesalahan manusia sendiri yang
lalai membuat upacara adat. Umpamanya jika tidak membuat upacara untuk sang
banni ae, maka sang putri ini akan memeras payudaranya yang menimpa manusia
menimbulkan   penyakit           cacar.
·         Adat Perorangan/ Siklus Kehidupan Berkaitan dengan:
Ø  Fungsi ternak
Cara bertanam masih sangat tradisonal dengan melepaskan ternak tanpa
kandang. Jumlah ternak justru menunjukkan status sosial seseorang. Hewan/ternak
piaraan lebih berfungsi sosial ketimbang bernilai ekonomi terutama kuda, kerbau
dan domba/kambing. Ternak ini sering menjadi pemenuhan kebutuhan upacara adat seperti kalahiran, perkawinan dan kematian, termasuk untuk upacara sakral, magis   religius.

Ø  Suku Timor yang tersebar di daratan Timor, Bagian Timur Nusa Tenggara Timur mempunyai kebiasaan yang unik berkaitan dengan perlakuan terhadap bayi baru lahir dan ibunya. Seorang ibu dan anak yang baru dilahirkan harus tinggal di rumah bulat atau rumah dapur, yaitu semacam rumah bundar yang terbuat dari ilalang kering tanpa ventilasi dan hanya memiliki satu pintu ukuran kecil yang untuk masuk pun harus membungkukkan badan. Rumah ini adalah tempat untuk memasak sekaligus menghangatkan badan jadi di dalam rumah ini selalu terdapat aktifitas perapian dari kayu bakar. Aktifitas menyalakan bara dari kayu bakar ini berlangsung terus-menerus sepanjang hari. Bisa Dibayangkan apabila keadaan di dalam ruangan ini sangat penuh dengan asap. Ibu bersalin dan anak yang baru dilahirkannya akan tinggal di rumah ini selama 40 hari. Setelah 40 hari baru ibu dan anak tersebut bisa keluar dari rumah itu untuk kemudian dibersihkan dan dibaptis di gereja.
Kebiasaan ini sering menyebabkan seorang bayi menderita sesak oleh karena pneumonia berat. Tidak jarang kematian juga timbul akibat pneumonia ini. Di daerah ini memang kematian akibat pneumonia non infeksi sangat tinggi. Hal ini sering mengundang perhatian dari center-center pendidikan kedokteran termkemuka di negeri ini untuk melakukan penelitian. Hampir semua penelitian yang telah dilakukan memiliki kesimpulan yang hampir sama. Yaitu tingginya angka kematian bayi dikarenakan asupan asap yang sangat tinggi yang ujung-ujungnya kembali pada kebiasaan atau tradisi masyarakat setempat.
Tradisi ini telah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Rendahnya pendidikan masyarakat di daerah ini menyebabkan susahnya merubah kebiasaan ini.

SUMBA
A.     Tokoh-Tokoh Dunia Roh
Agama Marapu adalah "agama asli" yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Adapun yang dimaksud dengan agama Marapu ialah sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur (ancestor worship). Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebut Marapu , berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Karena itu agama yang mereka anut disebut Marapu pula.

Marapu ini banyak sekali jumlahnya dan ada susunannya secara hirarki yang dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan Marapu Ratu ialah marapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari para marapu lainnya, jadi merupakan marapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi.

Kehadiran para marapu di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Yang Maha Pencipta.

Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja.

Dalam keyakinan Marapu, Yang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu – ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya.

Selain memuja arwah leluhur, bentuk agama yang disebut Marapu ini percaya juga akan bermacam roh yang ada di alam sekitar tempat tinggal manusia sehingga perlu pula dipuja, percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya berjiwa dan berperasaan seperti manusia, dan percaya tentang adanya kekuatan gaib pada segala hal atau benda yang luar biasa.

Dalam kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga) dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-hara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Menurut kepercayaan tersebut ada dua macam roh, yaitu hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa atau ndewa (roh suci, dewa).

Hamangu ialah roh manusia selama hidupnya yang menjadi inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa.

Ndiawa ini ada dalam semua makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula. Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Karena itu tidak terlalu mudah mereka melepaskan keagamaannya untuk menjadi penganut agama lain.

Menurut pandangan orang Sumba, manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan.

Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku — hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu.

Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara. Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada kalender adat, tanda wulangu. Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting atau krisis, yaitu saat kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat-saat seperti itulah upacara keagamaan biasanya dilaksanakan. (P. Soeriadiredja).
  1. Legenda[13]
Pasola berasal dari kata `sola’ atau `hola’, yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa’ (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.
Pasola diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada bulan Februari di Kodi dan Lamboya. Sedangkan bulan Maret di Wanokaka. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum.
Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabisu yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dalam kecepatan super tinggi (super speed power) dan melempar lembing (hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta nyale.
Skandal Janda Cantik
Menelurusi asal-usulnya, pasola berasal dari skandal janda cantik jelita, Rabu Kaba sebagaimana dikisahkan dalam hikayat orang Waiwuang. Alkisah ada tiga bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka hendak melaut. Tapi nyatanya mereka pergi ke selatan pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Setelah dinanti sekian lama dan dicari kian ke mari tidak membuahkan hasil, warga Waiwuang merasa yakin bahwa tiga bersaudara pemimpin mereka itu telah tiada. Mereka pun mengadakan perkabungan dengan belasungkawa atas kepergian/kematian para pemimpin mereka.
Dalam kedukaan mahadahsyat itu, janda cantik jelita `almarhum’ Umbu Dulla, Rabu Kaba mendapat pelabuhan hati Rda Gaiparona, si gatotkaca asal Kampung Kodi. Mereka terjerat dalam asmara dan saling berjanji menjadi kekasih.
Namun adat tidak menghendaki perkawinan mereka. Karena itu sepasang anak manusia yang tak mampu memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin lari. Janda cantik jelita, Rabu Kaba diboyong sang gatot kaca Teda Gaiparona ke kampung halamannya.
Beberapa waktu berselang, ke tiga pemimpin warga Waiwuang (Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula) yang sebelumnya telah dinyatakan hilang atau meninggal dunia oleh para pengikutnya tiba-tiba muncul kembali di kampung halamannya. Warga Waiwuang menyambut mereka dengan penuh sukacita.
Namun mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla menanyakan perihal istrinya. “Yang mulia Sri Ratu telah dilarikan Teda Gaiparona ke Kampung Kodi,” jawab warga Waiwulang pilu. Lalu seluruh warga Waiwulang dikerahkan untuk mencari dua sejoli yang lagi mabuk kepayang itu. Akhirnya keduanya ditemukan di kaki gunung Bodu Hula.
Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang di kaki gunung Bodu Hula namun Rabu Kaba yang telah meneguk madu asmara Teda Gaiparona tidak ingin kembali. Ia tidak mau dipisahkan lagi oleh sang tambatan hati yang telah meluluhlantahkan segala rasa cinta dan kasih sayang yang pernah diberikannya kepada sang mantan suami, Umbu Dula.
Kemudian Rabu Kaba meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.
Pada akhir pesta pernikahan keluarga, Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik, Rabu Kaba. Atas dasar hikayat ini, setiap tahun warga kampung Waiwuang, Kodi dan Wanokaka, di Sumba Barat mengadakan bulan (wula) nyale dan pesta pasola.
Akar pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak sekadar keramaian insani dan menjadi terminal pengasong keseharian penduduk. Tetapi menjadi satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur.
Pasola adalah perintah para leluhur untuk dijadikan penduduk pemeluk Marapu. Karena itu pasola pada tempat yang pertama adalah kultus religius yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Hal ini sangat jelas pada pelaksanaan pasola, pasola diawali dengan doa semadhi dan Lakutapa (puasa) para Rato, foturolog dan pemimpin religius dari setiap kabisu terutama yang terlibat dalam pasola.
Sedangkan sebulan sebelum hari H pelaksanaan pasola sudah dimaklumkan bulan pentahiran bagi setiap warga Paraingu dan pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur sangat berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Bila terjadi kematian yang disebabkan oleh permainan pasola, dipandang sebagai bukti pelanggaran atas norma adat yang berlaku, termasuk bulan pentahiran menjelang pasola.
Pada tempat kedua, pasola merupakan satu bentuk penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum’ perang damai dalam permainan pasola. Peristiwa minggatnya janda Rabu Kaba dari Keluarga Waiwuang ke keluarga Kodi dan beralih status dari istri Umbu Dulla menjadi istri Teda Gaiparona bukanlah peristiwa nikmat. Tetapi peristiwa yang sangat menyakitkan dan tamparan telak di muka keluarga Waiwuang dan terutama Umbu Dulla yang punya istri.
Keluarga Waiwuang sudah pasti berang besar dan siap melumat habis keluarga Kodi terutama Teda Gaiparona. Keluarga Kodi sudah menyadari bencana itu. Lalu mencari jalan penyelesaian dengan menjadikan seremoni nyale yang langsung berpautan dengan inti penyembahan kepada arwah leluhur untuk memohon doa restu bagi kesuburan dan sukses panen, sebagai keramaian bersama untuk melupakan kesedihan karena ditinggalkan Rabu Kaba.
Pada tempat ketiga, pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Permainan jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagi kedua kabisu yang terlibat secara langsung dalam pasola.
Selama pasola berlangsung semua peserta, kelompok pendukung dan penonton diajak untuk tertawa bersama, bergembira bersama dan bersorak-sorai bersama sambil menyaksikan ketangkasan para pemain dan ringkik pekikan gadis-gadis pendukung kubu masing-masing. Karena itu pasola menjadi terminal pengasong keseharian penduduk dan tempat menjalin persahabatan dan persaudaraan.
Sebagai sebuah pentas budaya sudah pasti pasola mempunyai pesona daya tarik yang sangat memukau. Oleh karenanya pemerintah dan seluruh warga masyarakat setempat sangat mendukung untuk menjadikan kegiatan PASOLA sebagai salah satu `mayor event’ yang pantas menjadi kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya.
  1. Upacara Adat
·         Adat Suku/ Kampung Berkaitan dengan:
Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya, orang Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin oleh ratu (pendeta) dan didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut Tanda Wulangu. Kalender adat itu tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan nuku-hara (hukum dan tata cara) dari para leluhur. Bila diubah dianggap akan menimbulkan kemarahan para leluhur dan akan berakibat buruk pada kehidupan manusia.
Walaupun dalam budaya Sumba tidak dikenal bahasa tulisan, orang Sumba mempunyai kesusasteraan suci yang hidup dalam ingatan para ahli atau pemuka-pemuka agama mereka. Kesusasteraan suci ini disebut Lii Ndai atau Lii Marapu yang diucapkan atau diceriterakan pada upacara-upacara keagamaan diiringi nyanyian adat. Kesusasteraan suci dianggap bertuah dan dapat mendatangkan kemakmuran pada warga komunitas dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternak.
Upacara-upacara keagamaan dan lingkaran hidup yang mereka laksanakan, terutama upacara kematian, diselenggarakan secara relatif mewah sehingga memberi kesan pemborosan. Namun bagi orang Sumba, hal tersebut mereka lakukan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Esa, tanda hormat dan bakti pada para leluhur, serta menjalin rasa solidaritas kekerabatan di antara mereka.
Pada setiap upacara keagamaan berbagai bentuk kesenian biasanya ditampilkan pula. Dapat dikatakan bahwa kesenian merupakan pengiring bagi religi mereka. Upacara-upacara keagamaan di Sumba selalu dianggap keramat, karena itu tempat-tempat upacara, saat-saat upacara, benda-benda yang merupakan alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap keramat pula. Mereka menyembah Mawulu Tau — Majii Tau dengan perantaraan para marapu yang merupakan media antara manusia dengan Penciptanya.
Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipujanya agar segala doa dan kehendaknya disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu itu diupacarakan dan dipuja di dalam rumah-rumah yang didiami oleh warga suatu kabihu terutama di rumah yang disebut uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu, misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya.
Tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katode, tempat upacara pamujaan di luar rumah berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa yang pada sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih inilah bermacam-macam sesaji, seperti pahapa (sirih pinang), kawadaku (keratan mas) dan uhu mangejingu (nasi kebuli) diletakkan untuk dipersembahkan kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu. Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu (maha leluhur). Misalnya, maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia, karena itu rumah pemujaan tersebut bernama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang) yang dalam luluku (bahasa puitis, berbait)disebut sebagai Uma Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak).
Menurut kepercayaan orang Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara lahir rumah itu tampak kecil saja, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan.
Rumah permujaan Uma Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali), karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur pula. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan menghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu Umalulu.
Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan itu ialah kayu ndai linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun kelapa), tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali — Waruwaka dan sekitarnya. Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di Uma Ndapataungu ialah upacara Pamangu Kawunga yang dilaksanakan empat tahun sekali, yaitu bertepatan dangan diperbaikinya tempat pemujaan tersebut; dan upacara Wunda lii hunggu — Lii maraku, yaitu upacara persembahan yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali.

FLORES
A.     Tokoh-Tokoh Dunia Roh[14]
Kepercayaan kepada Matahari-Bulan dan Bumi. Kepercayaan tersebut bersifat astral dan kosmologis yang berasal dari pola hidup agraris. Mereka hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores sungguh-sungguh berharap pada berkah Dewa Langit dan Dewi Bumi.
Suku bangsa Flores dianggap merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. maka interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.
Orang Flores masih memiliki sifat primitif. Orang Flores juga kurang menghargai ilmu pengetahuan. Selain primitif, orang Flores juga agak feodal. Tradisi di masa lalu kemudian mempengaruhi sifat orang Flores itu. Sementara itu, sikap primitif terbentuk dari kepercayaan dinamisme yang dianut dulu, yakni kepercayaan pada dewa-dewa (nitu).
 Adapun beberapa keutamaan orang flores antara lain

 * Percaya kepada Tuhan yang Kuasa misalnya: dalam doa-doa orang flores “Lera Wulan Tanah Ekan guti na-en”: Tuhan mengambil pulang miliknya.

* Kejujuran dan Keadilan Kepercayaan yang kuat dan penyerahan diri seutuhnya pada Tuhan menimbulkan nilai-nilai keutamaan lainnya yang juga dijunjung tinggi orang Flores seperti kejujuran dan keadilan. Nilai ini muncul sebagai keyakinan bahwa ‘Tuhan mempunyai mata’ (Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan) .  Tuhan melihat semua perbuatan manusia, sekalipun tersembunyi. Dia menghukum yang jahat dan mengganjar yang baik.

* Penghargaan yang Tinggi akan Adat dan Upacara Ritual  studi Graham (1985) mengungkapkan bahwa dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Flores Timur, ada empat aspek yang memainkan peranan penting, yaitu episode-episode dalam mitos asal-usul, dan tiga simbol ritual lainnya yakni nuba nara (altar/batu pemujaan), korke (rumah adat), dan namang (tempat menari yang biasanya terletak di halaman korke). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang Flores memiliki penghargaan yang sangat tinggi akan adat-istiadat dan upacara-upacara ritual warisan nenek-moyangnya.

* Rasa Kesatuan Orang Flores.  Ikatan kolektif yang sangat kuat dalam masyarakat Lamaholot terjadi pada tingkat kampung atau Lewo.  Masyarakat Lamaholot pada umumnya memiliki keterikatan yang khas dengan Lewotanah atau tempat tinggal. Melalui ukuran kampung, mereka membedakan dirinya dengan orang dari kampung lainnya. Kampung merupakan kelompok sosial terbesar, dan kesadaran berkelompok hampir tidak melampaui batas kampung  (Vatter, 1984: 72-73). Di Flores sebetulnya tidak ada kesadaran akan persatuan yang bertopang pada pertalian genealogis(keturunan berdasarkan gen), historis(berdasarkan sejarah) maupun politis.

B.     Mitos Penjadian
Di lingkungan suku Riung Flores Barat terdapat mitos penciptaan awal alam semesta bahwa pada awalnya  terdapat seorang perempuan  yang bernama Te’za, Ia menjadi ada dengan sendirinya, ia yang mempunyai kuasa atas dirinya, dan ia dipercaya sebagai  penyebab dari segala sesuatu. Te’za berdiam  di puncak batu korang raksasa  dimana terdapat sebuah pohon  besar yang tumbuh dan mempunyi kuasa, Pada waktu Te’za sedang tidur di bawah pohon, jatuhlah sekuntum bunga  yang dihembus angin. Te’za dibuahi oleh  bunga yang jatuh tersebut, ia mengandung dan melahirkan  anak lelaki yang diberi nama Lena. Ketika anak itu dewasa ia kawin dengan ibunya, dan dari perkawinan itu  berkembanglh banyak  manusia  yang mengisi muka bumi.
  1. Upacara Adat
1. Upacara Kelahiran
Kelahiran Pada masa kehamilan di Tetum, merupakan upacara yang bertujuan agar si ibu tetap sehat dan tidak diganggu roh jahat disebut upacara Keti Kebas Metan(mengikat dengan tali benang kitan). Pada peristiwa kelahiran, dukun beranak memegang peranan penting pada peristiwa tersebut ada dua upcara yang penting yaitu pengurusan ari-ari dan pemberian nama bayi.
2.Upacara Menjelang dewasa
Masa Remaja Setelah anak menjelang dewasa biasanya diadakan serangkaian upacara yaitu cukuran rambut pada masa anak-anak dan sunat bagi laki-laki dan potong gigi untuk wanita yang biasa disebut Koa Ngel. Koa Ngel merupakan upacara potong gigi massal untuk gadis memasuki usia remaja. Upacara ini menandakan gadis-gadis yang telah mengikuti upacara ini telah dewasa dan boleh dipinang untuk membangun rumah tangga.
3. Upacara Perkawinan
a) Wanita dan Perkawinan di Fores Timur Kehidupan wanita dalam adat istiadat Lamaholot sangat tinggi nilainya. Wanita merupakan pusat kehidupan masyarakat karena itu harus diperhatikan oleh yang mengelilinginya. Nilai seorang wanita pada mas kawin yang dikonkritkan dalam jumlah dan ukuran gading gajah yang sulit diperoleh.
b) Wanita dan Adat Perkawinan di Sikka. Urusan perkawinan antara pria dan wanita merupakan pertalian yang tidak dapat dilepaskan. Hubungan yang menyatu itu terlukis dalam ungkapan Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar (Pertalian kekerabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus menerus dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun temurun. Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dalam bahasa hukum adat yangdisebut Naruk dua - moang dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya.


[1] Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.


[2] http: Cerita dewa dan mitos suku asmat
[6] Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
[7] Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
[8] Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
[9] Kepercayaan suku2 di Indonesia. Blogspot.com
[10] Kepercayaan suku2 di Indonesia. Blogspot.com
[11] http: Kerajaan Amanatun di Timor (www.wikipedia.com).
[12] Kepercayaan suku2 di Indonesia. Blogspot.com
[13] Kepercayaan suku2 di Indonesia. Blogspot.com
[14] Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

1 komentar: